Sumbawa, PSnews
— Lahan transmigrasi Brang Lamar, Desa Emang Lestari, bakal kembali
menuai permasalahan. Di lapangan menyeruak bahwa porsi penempatan
transmigrans 80 persen lokal dan 20 persen luar Lunyuk, dimaknai sempit
oleh masyarakat sekitar. Hal tersebut dikemukakan Camat Lunyuk,
Lukamuddin, Selasa (27/08/203).
“Porsi tersebut tidak digarisbawahi. Versi camat, bahwa pemaknaan
masyarakat lokal adalah Kabupaten, bukan Kecamatan yang selama ini
dipahami masyarakatnya. Karena nilai filosofi transmigrasi adalah
perpindahan penduduk dari daerah yang padat penduduk ke daerah yang
jarang penduduknya. Tapi kalau dimaknai lokal hanya untuk Desa Emang,
maka terlalu kecil proyek nasional untuk membiayai perpindahan penduduk
ke suatu Dusun atau Desa,” tegasnya.
Terkait pengerjaan fisik di lapangan, diharapkan agar bisa berhasil 100
persen sebelum kontrak berakhir. Pasalnya, sejauh ini potensi gagalnya
sudah terlihat. Karena menurut keterangan yang ia jelajahi,
Disnakertrans meminta tambahan anggaran untuk melanjutkan proyek
tersebut di atas Rp 470 juta.
“Tapi faktanya, penawarannya di bawah pagu anggaran yang dimenangkan.
Apalagi kalau 25 persen anggarannya dibuang, maka nilai kontraknya di
bawah itu. Saya yakin karena anggaran yang tidak cukup, potensi untuk
tidak berhasil dengan maksimal itu ada,” keluh Lukmanuddin.
Ia
menambahkan, pengerjaan di lapangan tetap berlanjut. Apalagi kondisinya
dikejar tenggat waktu harus selesai dalam Oktober 2013. Belum lagi ada
gangguan internal, misalnya tenaga kerja yang lama kembali bekerja
setelah libur mudik.
Dengan kondisi seperti itu, ia berharap pengerjaannya bisa maksimal.
Bagi yang akan menempati, akan diseleksi dengan baik. Sebab sudah banyak
kasus yang terjadi peralihan kepemilikan kepada oknum pejabat tertentu
yang membeli tanah transmigran. Bahkan ada yang sampai 80 hingga 90
hektar.
“Ini yang kami tertibkan, jangan sampai hajat transmigrasi ini untuk
mensejahterakan rakyat, tapi yang sejahtera justeru orang yang berduit
atau pejabat-pejabat tertentu. Sekarang sudah banyak yang beralih fungsi
kepemilikan. Ada seorang dokter yang menjadi pemilik lahan puluhan
hektar,” ungkapnya.
Bahkan, sambung Camat, termasuk lahan yang akan ditempati sudah ada yang
menjanjikan pembayaran. Lantaran dimaknai untuk lokal adalah untuk
warga Desa Emang, sehingga oknum tertentu menjanjikan untuk memasukkan
namanya sebagai transmigran dengan meminta sejumlah uang.
Artinya, tegas Camat, namanya saja milik warga lokal, tapi dalam
kepemilikannya adalah milik orang lain dengan masa sekian lama. Menurut
Lukmanuddin, persoalan ini pun bisa dibuktikan di lapangan.
Sementara
itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumbawa, Drs. Arif,
M.Si., yang dikonfirmasi di tempat berbeda, menjelaskan, pembangunan
lahan transmigrasi Brang Lamar, Desa Emang Lestari, Kecamatan Lunyuk,
merupakan pembangunan berkelanjutan, fungsionalisasi dan pembangunan
unit baru dari tahun 2012. Di tahun 2012, ada 100 unit rumah yang
ditargetkan hanya dibangun dengan beberapa variasi prosentasenya hanya
48 unit. Sedangkan 52 unitnya kosong dan inilah yang dikerjakan tahun
2013 ini.
Sejauh ini, terang Arif, di lapangan memang terjadi deviasi dari target
capaian yang dibuat, sehingga kisarannya baru 40 persen. Disnakertrans
terus mendorong, memantau dan mengevaluasi dengan gerakan aktifitas
supaya deviasi atau kekurangan tersebut benar-benar bisa dilampaui. Hal
ini penting agar target penyelesaian sesuai kontrak pada 16 Oktober
2013. Sisa waktu yang ada saat ini untuk melakukan penetapan, mulai dari
menyeleksi hingga menetapkan warga transmigrasi 100 KK. Penempatannya
dilakukan pada Nopember 2013.
Kendala di lapangan, sambungnya, menurut keterangan pemborong dan tenaga
teknis, baik pengawas maupun yang memantau bahwa telah terjadi
kelangkaan bahan. Dalam hal ini kayu, batu bata dan sebagainya. Dalam
hal mengatasi kendala seperti itu, telah dilakukan rapat di ruang
Asisten II dengan menghadirkan para pihak, antara lain, Direktur PT.
Anugrah Mandala Mataram, berssama para tenaga teknis lapangan, ULP dan
Disnakertrans, guna membicarkaan pemecahan kendala di lapangan disertai
dengan mengingatkan kepada kontrakor.
“Apabila sampai dengan batas tertentu pengerjaan proyek ini tidak bisa
diselesaikan karena sudah menghawatirkan, maka akan mengambil langkah
memutuskan kontrak. Putus kontrak berarti gagal, mirip dengan tahun
lalu,” tegas Arief.
Menurut Arief, masyarakat memaklumi bahwa mekanisme tender proyek ini
tidak ditentukan oleh Disnakertrans melainkan melalui ULP. Pihaknya
hanya menerima anggaran sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA). Seluruh
dokumen anggaran diserahkan ke ULP untuk dilelang, sehingga memenangkan
PT. Anugrah Mandala Matam.
Ia menegaskan, bukan berarti dalam masalah ini tidak mau
bertanggungjawab, tapi bukan pihaknya yang melakukan tender. Termasuk
penetapan pemenang tender, bukan urusan pihaknya. “Sejauh ini belum ada
laporan masalah, karena rekapitulasi masalah sudah kami sampaikan di
rapat,” tambah Arif.
Lebih jauh ia memaparkan, sebanyak 52 rumah yang dibangun mulai dari nol
tersisa 12 unit. Itupun 40 unit yang sudah ada beberapa bagian belum
selesai. 48 unit rumah yang difungsionalisasi adalah sisa yang dibangun
tahun 2012 tersisa 34 unit atau 14 sudah selesai. Kalau diukur dengan
kalender saat ini, maka kekurangannya 40 persen. Mestinya sudah 80
persen, sehingga kontraktor harus mengejar 60 persen sampai batas
kontrak.
Persoalan di lapangan, meliputi kekurangan tukang dan kurangnya kayu
sebagai bahan yang paling banyak digunakan. Masalahnya, kontraktor
berharap pada kayu hasil tebangan IPKTM yang sampai saat ini ijinnya
belum juga keluar. Pihaknya sudah memberikan saran agar kontraktor bisa
menggunakan kayu dari mana saja asalkan legal, tidak perlu bergantung
dengan IPKTM. Kemudian batu bata agar jangan memaksakan diri pada satu
tungku. Begitu juga dengan tukang untuk mencari tukang lain.
Sehingga pihaknya meminta kepada kontraktor dapat bekerja sesuai
prosedur. Tidak boleh lagi ada alasan. Petakan masalahnya untuk mencari
solusi.
Mengenai praktek perpindahan kepemilikan melalui jual beli di bawah
tangan lahan transmigrasi, Arif menegaskan, berdasarkan ketentuan
perundang-undangan, bahwa warga yang dimukimkan sebagai transmigrans
adalah pertimbangan dari berbagai aspek dan di-SK kan oleh pejabat yang
berwenang. Sehingga sebelum orang itu diputuskan menempati, maka belum
ada yang pasti. Kepastiannya akan ada setelah terbit SK dan sampai saat
ini belum ada SK.
“Kami heran, masyarakat mana yang menganggap dirinya sudah mengantongi
SK atau pasti sebagai warga trans. Sementaranya SKnya saja belum keluar.
Tim seleksi belum menuntaskan pekerjaannya,” ujar Arif.
Mengenai spekulasi tersebut, menurutnya itu tidak sah. Karena objek yang
diperjualbelikan belum ada. Apalagi fasilitas tersebut bukan untuk
diperjualbelikan atau disewa-menyewakan. Itu semua diberikan untuk
dihuni dan syaratnya diatur oleh ketentuan, tidak sembarang orang
mendapatkannya.
Ia menegaskan, jika terbukti terjadi praktek jual beli lahan atau
fasilitas transmigrasi, maka bisa dikenakan sanksi pidana sebagai bentuk
kejahatan karena bukan hak milik. Adapun daftar penerima atau penghuni
baru sebatas konsep, belum diverifikasi, diteliti dan di SK kan.
Mengenai pemahaman porsi 80 persen untuk warga lokal dan 20 persen warga
non lokal yang dianggap hanya untuk warga Emang Lestari,
Kadisnakertrans menjawab, bahwa hajat transmigrasi adalah untuk
memindahkan penduduk dari permukiman yang padat ke permukiman yang
longgar. Dari suatu Propinsi ke Propinsi lain. Dari satu Kabupaten/Kota
ke Kabupaten/Kota lain, bahkan di dalam Propinsi yang sama.
“Tidak ada denifisi memindahkan dari dusun ke dusun dari Desa yang sama.
Kecuali hal-hal yang menyangkut kebijakan. Sehingga orang tidak boleh
berpegang teguh kepada anggapan dan asumsi, tanpa kembali kepada hukum
atau undang-undang sebagai definisi,” terangnya.
Mengenai harus orang Desa Emang Lestari menjadi penghuni lahan trans,
menurutnya, hal itu adalah sebuah keinginan. Tidak otomatis keinginan
itu dipenuhi. Kalau bertentangan dengan undang-undang, maka keinginan
itu tidak boleh dilaksanakan. Kalau itu diberikan kelonggaran atau
kebijakan, maka boleh dilakukan.
“Demikian pula soal 80 persen tersebut juga perlu dipahami. Bila 80
persen adalah keseluruhan warga desa Emang Lestari pindah ke Brang Lamar
dengan anggapan bahwa itu trangmigrans lokal, maka suatu saat nanti
jika ada program transmigrasi di Sumbawa diberikan jatah lokal berapa
persen pun itu untuk masyarakat di suatu Desa, maka sampai kapanpun
warga Kota tidak akan bisa menikmati program transmigrasi tersebut,”
tandasnya. (PSb)