Di
jaman yang telah lampau tersebutlah didalam kisah seorang putera raja
yang konon berasal dari Gowa Sulawesi Selatan. Ia datang ke tempat ini
bukan untuk memerintah tetapi untuk menyebarkan Agama Islam. Tempat ini
dinamakan Bekat Loka, suatu tempat yang dijadikan tempat tinggal dan
lama kelamaan menjadi sebuah dusun. Bekat asal katanya adalah berkat.
Dusun yang diberkati Allah tempat bermukim seorang alim dari Putera Raja
Gowa. Di Dusun Bekat Loka inilah akhirnya Putera Raja Gowa wafat. Kini
lokasi itu dapat dilihat lebih kurang seratus depa sebelah tenggara
sebuah bukit kecil yang dikenal dengan Ponan. Bukit Ponan sendiri
terletak diantara tiga buah dusun yaitu Dusun Poto, Dusun Malili, dan
Dusun Lengas. Di Dusun Bekat Loka inilah lahir seorang putera yang
dikenal oleh penduduk setempat dengan nama Haji Batu yang makamnya
sekarang dapat dilihat dipuncak Bukit Ponan. Bekat Loka merupakan asal
muasal munculnya ketiga dusun yang disebutkan diatas yaitu Dusun Poto,
Dusun Malili, dan Dusun Lengas.
Dusun
Bekat Loka lama kelamaan banyak ditinggalkan oleh penduduknya. Para
penduduk lebih memilih bertempat tinggal dekat dengan tanah garapannya
yang dibukanya sendiri pada saat itu. Akhirnya terbentuklah sebuah dusun
yang lain yang diberi nama Samongal yang letaknya juga diatas sebuah
bukit berdekatan dengan sebuah sungai kira?kira berjarak seratus meter
dari Dusun Poto, yaitu disebelah utara dusun Bekat Lengas. Nama Samongal
berasal dari kata Samonga artinya dalam bahasa Sumbawa yang diandalkan.
Di Dusun Samongal inilah sebagian besar keturunan putera Raja Gowa
bermukim dan lama kelamaan melahirkan dua bersaudara yang kelak akan
menjadi penyambung lidah Sultan Samawa Pertama.
Kedua
orang bersaudara itu dalam perkembangannya diangkat menjadi pemegang
adat dan pemerintahan. Sebelum melaksanakan pemerintahan keduanya lebih
dahulu disumpah secara Islam oleh Datu Qadi. Kedua orang bersaudara itu
setelah disumpah diberi gelar masing?masing Dea Dasin Salidin dan Dea
Gamal. Dea Dasin Salidin memegang adat dan pemerintahan dari Samongal
Moyo Hilir (Paroso) sampai ke Buir (Juru Mapin) Alas. Sedang Dea Gamal
bertugas menjaga dan meneliti adat secara Islami.
Adat
dalam penyelenggaraan pemerintahan saat itu adalah adat yang bersifat
asli (primitive) yang dilaksanakan secara Islami artinya bersendikan
syara dan Kitabullah. Sampai sekarang adat-adat ini sebagian masih
dipertahankan sesuai dengan jamannya.
Dalam
melaksanakan tugasnya Dea Dasin Salidin diberikan imbalan tanah sawah
berlokasi di Orong Rea. Tanah Sawah ini disebut Uma Panyaka. Yang
diberikan kepercayaan untuk penyelenggaraan sawah itu adalah orang?orang
dari Dusun Sengkal dan Dusun Batu Bulan. Mereka ini bukan budak tetapi
disebut Tau Sanak (artinya orang yang dipandang sebagai keluarga).
Dea
Dasin Salidin adalah sosok pemimpin yang memiliki rasa kasih sayang
yang tinggi terhadap rakyatnya, sehingga rakyat pada waktu itu juga
memiliki rasa berbakti yang tinggi pula. Dalam perjalanan hidup akhirnya
Dea Dasin Salidin (pertama) wafat dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Tidak
lama setelah Dea Dasin 1 wafat dan dimakamkan, diangkatlah Dea Dasin 2
yang merupakan putera dari Dea Dasin 1. Dea Dasin 2 dikenal juga dengan
nama Dea Dasin Ali. Dea Dasin 2 ini merupakan tokoh yang tangkas, tegap,
jujur dan adil pula. Sebagai bukti bahwa Dea Dasin 2 adalah sosok
pemimpin yang jujur dan adil yaitu ketika anaknya yang bernama Poro Ali
(bakal Dea Dasin 3) menentang adat maka anaknya itu dimasukkan bui.
Kedatangan Belanda ke Sumbawa pada waktu itu tidak banyak mempengaruhi
perilaku rakyat karena adat dilaksanakan sangat kuat sesuai dengan
syariat Islam. Atas sikap adil yang luar biasa yang ditunjukkan oleh Dea
Dasin 2 maka pihak Belanda pada waktu itu memberikan dan menyematkan
Bintang Jasa dari emas.
Sesuai
dengan adat maka disamping Dea Dasin ada Dea Gamal yang bertugas
menjaga dan meneliti adat secara Islami. Penjagaan adat itu mulai dari
dalam Istana sampai ke lapangan , yaitu misalnya adat di masjid, adat di
rumah-rumah pejabat, adat di rumah, adat berhadapan dengan guru agama,
alim ulama, dan lain-lain. Di Istana, dua jabatan adat yang dijabat oleh
dua bersaudara ini urutan duduknya sebagai berikut. Sultan berjejer
dengan Menteri Lante. Dea Dasin dan Dea Gamal berjejer dengan
b>Adipati Raja. Mereka duduk berhadapan dengan Raja (Sultan) dalam
bermusyawarah adat atau lainnya. Jika salah seorang belum hadir maka
musyawarah adat belum dimulai.
Dea
Gamal (1, 2 dan 3) pada jamannya masing?masing mempunyai tugas yang
sama. Imbalannya adalah sawah di Kecamatan Utan sekarang yang disebut
dengan Uma Gamal. Sampai sekarang ini sawah tersebut tetap dikenal
dengan nama Uma Gamal.
Asal
usul Dea Dasin dan Dea Gamal ini adalah keturunan Sulawesi. Demikian
pula dengan Sultan Sumbawa. Buir identik dengan Bekat. Jika orang
menyebut Buir maka sudah termasuk di dalamnya Kalabeso, Tarusa, dan
Jurumapin. Dan jika orang menyebut Bekat maka termasuk didalamnya adalah
Poto, Malili, dan Lengas, yang masih dapat dilihat sekarang adalah
pakaian adat istana yang dulunya dipakai oleh kedua pejabat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar