Pada
tahun 1350 Gajah Mada Mahapatih kerajaan Maja Pahit besrta Empu Nala
mempersatukan Nusantara dari Sabang sampai Merauke guna membuktikan cita
– citanya yang terkandung dalam Sumpah Pala. Nusantara bersatu di bawah
lambang bendera Majapahit di bawah pimpinan raja yang bijaksana yaitu
Hayam Wuruk dengan Mahapatih yang sakti yaitu Gajah Mada.
Pada
waktu rakyat kerajaan Tana Samawa di bawah pimpinan raja yang mulia
Raja Nuang Sasih yang memililki kekuasaan dari Empang sampai ke Jerewweh
tunduk kepada Kerajaan Majapahit serta memeluk agama Hindu. Sisa – sisa
peninggalan ajaran agama Hindu sampai sekarang masih dapat ditemukan
dalam praktek kehidupan masyarakat Samawa sehari – hari terutama di desa
– desa atau di daerah terpencil. Misalnya mengantar sesajen ke tempat
mata air, batu – batu, pohon – pohon kayu yang besar dan lain – lain
yang dianggap keramat.
Raja
Nuang Sasih memimpin Kerajaan Tana Samawa dengan adil dan bijaksana.
Rakyat hidup aman dan tentram serta adil dan makmur.Karena itu raha
Nuang Sasih sangat dicintai rakyatnya.
Di
suatu pagi yang cerah di ruang sidang Sri Menganti di istana Kerajaan
Tana Samawa penuh sesak dengan tentara Kerajaan, hulubalang, para
menteri, punggawa, dan panglima kerajaan. Nampaknya akan ada pertemuan
dengan raja Nuang Sasih. Tak berapa lama kemudian Raja Nuang Sasih yang
bijaksana dan mulia memasuki ruang sidang yang diberi nama Ruang Sidang
Sri Menganti itu. Padukan Raja diiringi oleh para pengawal istana yang
sakti – sakti. Semua yang hadir memberi hormat yang khidmat kepada Raja
Nuang Sasih. Segeralah Raja Nuang Sasih memulai pembicaraan.
“Wahai Panglima” kata Raja
“Daulat Tuanku Syah Alam”, jawab Panglima segera.
“Apakah para pimpinan bala tentara kerajaan, para punggawa,dan para menteri sudah hadir seluruhnya?”, kata Raja Nuang Sasih.
“Ampun
yang Mulia, pimpinan, balatentara, para punggawa, dan para menteri
kerajaan seluruhnya sudah siap”, jawab Panglima Kerajaan.
Setelah mendengar laporan dari Panglima, Raja Nuang Sasih segera memberikan Wejangannya.
“Panglima,
para menteri, punggawa, serta para pimpinan balatentara kerajaan,
maksud dan tujuan kita berkumpul di Ruang Sidang Sri Manganti ini yaitu
untuk membicarakan penjagaan dan pengawalan terhadap Puteri Mahkota
Kerajaan yaitu Puteriku Lala Baka. Saya perintahkan kepada semua yang
hadir untuk dapat menjaga keselamatan puteriku dari perbutan – perbuatan
tercela, hingga tidak memalukan kita semua dan seluruh rakyat kerajaan
Tana Samawa ini”, Kata Raja bertitah.
“pengawal!’, Kata Raja memangggil pengawalnya.
‘Daulat Tuanku”, jawab pengawal.
‘Segera panggil puteriku Lala Baka untuk hadir di ruang sidang ini sekarang juga’, ucap Baginda Raja memerintahkan pengawal.
“Daulat Tuanku Baginda Raja”, kata pengawal sambil segera memanggil Lala Baka.
Lala
Baka adalah Puteri Mahkota Kerajaan Tana Samawa, yang disanjung dan
didambakan oleh seluruh rakyat Tana Samawa. Teristimewa oleh Paduka Yang
Mulia Raja Nuang Sasih beserta Permaisuri. Tak berapa lama kemudian
Puteri Mahkota Lala Baka memasuki ruang sidang Sri Menganti, diiringi
dayant – dayang istana dikawal oleh para pengawal untuk menghadap
ayahanda tercinta. Setibanya di hadapan Paduka Yang Mulia, Lala Baka
beserta pengiring langsung sujud sembah yang menggambarkan ketaatan dan
kestiaan puteri mahkota. Setelah itu Baginda Raja memulai pembicaraan.
“Wahai Puteriku tersayang,” kata Baginda memulai pembicaraan.
“Daulat ayahanda tercinta”, jawab Lala Baka.
“Maksud
dan tujuanku memanggil engkau menghadapku di ruangan sidang ini adalah
aku bermaksud menyampaikan nasihat dan perintahku kepadamu puteruiku.
Dan aku ingin agar nasihat dan perintah ini disaksikan oleh para
menteri,panglima dan seluruh unsur pimpinan kerajaan”, kata Baginda
Raja.
“Daulat ayahanda tercinta”, ucap Puteri Mahkota Lala Baka.
“Begini
anakku”, kata Baginda Raja memulai nasehatnya. “Puteri Mahkota adalah
merupakan contoh dambaan seluruh rakyat Tana Samawa. Untuk itu aku minta
kepadamuperliharalah dirimuagar tidak terjerumus dalam lembah
kehancuran. Terlebih –lebih dirimu seorang perempuan dan puteri raja.
Jangan sampai kau tergoda oleh rayuan iblisyang jahat. Bersediakah kau
puteriku memelihara dirimu?”, ungkap baginda Raja dengan mengajukan
pertanyaan.
Lala
Baka tertegun dengan ucapan ayahandanya Baginda Raja Nuang Sasih yang
mengandung harapan guna menjawab kehormatan keluarga kerajaan itu.
Segeralah Lala Baka menjawab pertanyaan baginda raja
“Ampun
yang mulia. Hamba bersumpah dan berjanji di hadapan ayahhanda tercinta
dan dihadapan seluruh pemerintah kerajaan bahwa hamba akan memelihara
diri dan tidak akan memalukan ayahanda beserta ibunda, dan seluruh
rakyat kerajaan Tana Samawa tercinta”. Jawab Putri Mahkota.
Baginda
Raja Nuang Sasih dan seluruh yang hadir di ruang sidang mendengar
dengan penuh perhatian terhadap ucapan Lala Baka sebagai seorang Putri
Mahkota.Kemudian Baginda Raja melanjutkan.
“ Para Menteri, Panglima, dan Punggawa”, kata Baginda Raja
“ Daulat Baginda Raja”, jawab Menteri, Panglima, dan Punggawa serentak.
“
Sudahkan kalian semua mendengar sumpah dan janji puteriku?. Tanya
Baginda Raja kepada para Menteri, Panglima, dan Punggawa kerajaan.
“
Daulat Tuanku. Kami semua sudah mengdengar dan menyaksikan . Dan kami
semua siap untukmenjaga dan memelihara keselamatan Tuan Puteri, jawab
Para Menteri, Panglima, dan Punggawa serentak.
Baginda
Raja merasa sangat senang mendengar kesaksian dan kesanggupan segenap
Menteri Panglima dan Punggawa untikmenjaga dan memelihara keselamatan
Taun Puteri. Kemudian Baginda Raja memandang kepada Puteri Mahkota dan
melanjutkan pembicaraan.
“
Tapi ingat apabila Puteriku melanggar segala nasihatku maka aku akan
memberikan hukuman yang sangat berat kepadamu Puteriku. Bersediakah kau
menerima hukuman?”’ kata Baginda Raja.
“
Daulat ayahanda tercinta, sekiranya hamba melanggar sumpah dan janji
maka hukumlah hamba dengan hukuman yang seberat-beratnya. Hamba bersedia
kata Puteri Mahkota meyakinkan ayahandanya.
Kabut Kelabu Di Langit Istana.
Hari
berganti hari, bulan berganti bulan dan bumi terus berputar pada
porosnya. Siang berubsah menjadi malam dan malampun berubah menjadi
siang. Demikianlah hidup manusia di dunia fanaini. Suatu masa ia
bahagia, suatu masa ia menderita. Adakalanya manusia itu sakit.
Kehidupan manusia di atas dunia ini selalu berubah ubah.
Setahun
kemudian, kerajaan Tana Samawa ditutupi kabut kelabu yang memalukan dan
menciderai nama mulia Baginda Raja Nuang Sasih beserta seluruh rakyat
kerajaan Tana Samawa. Putri Mahkota Lala Baka di timpa mala petaka. Ia
hamil tiga bulan tanpa nikah . Dan rahasia ini di ketahui oleh Paduka
Yang Mulia . Seluruh rakyat berkabung memikirkan nasib Putri Mahkota
Lala Baka yang akan mendapat hukuman berat dari Paduka Yang Mulia.
Peristiwa kelabu ini terjadi kira-kira tahun 1480 Masehi, sebelum Agama
Islam masuk ke Tana Samawa.
Di
suatu pagi yang cerah, di ruang sidang Sri Menganti, Paduka Yang Mulia
Raja Nuang Sasih dihadapi patih, Panglima, para Menteri dan para
Punggawa guna mendengarkan perinah yang harus dilaksnakan. Raja Nuang
Sasih memulai pembicaraan.
“
Wahai Patih, Panglima, dan para Menteri, serta para Punggawa pada saat
ini kerajaan telah ditimpa kabut kelabu. Tindakan apakah yang harus
kulakukan kepada putriku Lala Baka?’ kata Baginda Raja Nuang Sasih
meminta pertimbangan.
“
Ampun yang mulia. Segala putusan hamba serahkan kepadaBaginda Yang
Mulia. Sedangkan hamba siap melaksanakannya’’, kata salah seorang
Menteri.
Putriku
telah memberi malu kepada rakyat Tana Samawa. Hukuman yang akan
kuberikan pada putriku ialah hukuman yang setimpal dengan perbuatanya”,
kata Raja Nuang Sasih.
“ Daulat Tuanku”, kata salah seorang Patih.
“
Wahai Patih dan Panglima bawalah Lala Baka ke tempat pengasingan di
dalam sebuah hutan lebat. Hutan itu terletak di sebuah selatan desa
Senawang. Di dalam hutan itu ada sebuah gua yang namanya Liang Bedis
Untuk menjaga keamanan dalam perjalanan bawalah sepasukan tentara
pengawal istana”, titah Paduka Raja.
“Daulat
Tuanku Yang Mulia. Hamba akan laksanakan sebagaimana titah paduka
Tuanku. Kapan hamba akan laksanakan Yang Mulia?”, jawab Patih.
“Dua hari yang akan datang.Sekarang lakukanlah persiapan”, perintah Baginda Raja kepada Patih Kerajaan.
Menuju Ke Pengasingan
Sesal
dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. Demikian nasib Puteri
Mahkota Kerajaan Tana Samawa Lala Baka yang dirundung malang atas
perbuatannya sendiri. Lala Baka yang selalu hidup bahagia, tenang dan
tentram, dikelilingi oleh dayang – dayang istana, kini akan menerima
hukuman dari Ayahanda tercinta. Tiga bulan sudah lamanya Lala Baka tidak
pernah keluar dari peraduannya.
Sehari
sebelum pembuangan dilaksanakan, Kakek tercinta menemui cucunya yang
sangat disayanginya itu. Dengan air mata berlinang dengan suara
terputus-putus memeluk cucunya yang sangat disayanginya.
“ Cucuku ! Cucuku ! Aku sayang padamu !”, kata Kakek itu terbata-bata.
“
Ampunkan hamba Kek ! Hamba telah berbuat dosa telah melanggar nasihat
Ayahanda tercinta. Hamba telah memberi malu keluarga dan seluruh
Kerajaan Hukuman apapun yang diberikan oleh Ayahanda akan Hamba Terima
dengan hati terbuka”, kata Lala Baka Seraya menitikkan air mata
seolah-olah menyesalkan perbuatannya.
“
Sabarlah Cucuku ! Menurut kabar yang kuterima bahwa besok pagi cucuku
akan dibawa oleh Patih , Panglima, beserta Pasukan Pengawal Istana ke
sebuah hutan lebat sebelah selatan dusun Senawang. Di dalam hutan itu
ada sebuah gua namanya Liang Bedis. Di situlah Cucuku akan diasingkan.
“ Benarkah Kek ?”, tanya Lala Baka.
“ Benar Cucuku !”, jawab Kakeknya.
Mendengar
jawaban Kakeknya, Lala Baka merasa sangat sedih. Dirinya akan dibuang
ke hutan rimba belantara yang sangat jauh dari keramaian. Tentu saja
suasananya akan gelap gulita. Tidak ada orang yang akan menolong jika
dirinya ditimpa sakit atau kesulitan. Dipandangnya Kakeknya seolah-olah
memohon belas kasihan. Lalu katanya.
“ Hamba mohon kepada Kakek berilah hamba bekal guna keselamatan hamba di tempat pembuangan”, kata Lala Baka memelas.
“
Baiklah Cucuku. Demi keselamatan jiwamu, Kakek akan memberikan padamu
sebuah azimat yang tidak pernah kuberikan pada ayahmu. Tapi ingat
jangan sekali-kali kau perlihatkan kepada ayahmu atau siapapun”, kata
kakeknya membeerikan harapan dan nasehat.
“Baiklah kek ! Azimat apakah itu Kek?” tanya Lala Baka.
“Inilah
Azimat itu cucuku ! Sebuah cincin bernama Cincin Permata Biru. Dalam
Permata Biru ini terdapat Jin Raksasa yang akan menghancurkan segala
bala dan petaka yang akan mengganggu dirimu. Pakailah cincin ini dan
apabila ada yang datang mengganggu maka arahkan permata cincin ini lurus
kepada yang datang mengganggu , niscaya musnalah segala gangguan itu,”
kata Kakeknya menjelaskan.
“Terima
kasih Kek”, kata Lala Baka sambil memasukkan Cincin permata biru itu kr
jari masninya yang lentik. “Doakan Hamba selamat ya Kek?”, kata Lala
Baka. Keesokan harinya pada pagi hari yang cukup cerah tibalah saat
pmbuangan yang telah ditetapkan Paduka Yang Mulia Raja Nuang Sasih
terhadap Putri Mahkota Lala Baka. Patih, Panglima, dan Pasukan Tentara
Pengawal Istana sudah siap. Patih menghadap Puteri Mahkota Lala Baka
guna menjemput Lala Baka untuk segera melaksanakn perintah Yang Mulia.
“Ampun Yang Mulia Putri Mahkota. Hamba datang menghadap guna menyampaikan perintah Paduka Raja Yang Mulia”, kata Patih Kerajaan.
“Apakah itu Patih?, tanya Lala Baka seolah – olah belum mengetahuinya.
“Hamba
dan panglima beserta seluruh Pasukan pengawal Istana diperintahkan oleh
Paduka Yang Mulia untuk menjemput Putri Mahkota untuk dibawa ke Liang
Bedis,” kata Patih sesuai dengan perintah Raja Nuang Sasih.
“Ya
baiklah ppatih. Aku telah pasrah menerima segala hukuman yang
bdiberikan ayahanda padaku. Bawalah aku sekarang juga””, kata Lala Baka
pasrah.
Maka
naiklah Lala Baka ke atas usungan. Berangkatlah Lala Baka dan
rombongan menuju Selatan Kerajaan Tana Samawa yaitu ke Liang Bedis di
wilayah dusun Senawang.
Dalam
perjalanan Lala Baka diusung oleh Laskar Pengawal Istana diiringi oleh
Patih dan Panglima. Perjalanan itu penuh warna kesedihan yang sangat
menyayat hati.
Sekarang
merekaberjalan menyusuri sungai BrangBiji yang berhulu di gunung batu
Lanteh dan bermuara di laut Labuhan Sumbawa. Setelah sepuluh hari
perjalanan sampailah mereka di sebuah tempat, yaitu sebuah padang rumput
yang luas. Padang rumput itu bernama Lenang Lengan. Padang rumput
tersebut terletak disebelah Barat Desa Lenang Guar, yang jarakbnya kira –
kira 12 km dari Lenang Lengan. Lenang Lengan termasuk dalam wilayah
Lenang Guar.
Para
rombongan membuat perkemahan di Lenang Lengan untuk beristirahat selama
semalam. Lala Baka diusung kedalam Kemah dengan cara yang tidak berubah
sebagaimana layaknya Lala Baka menjadi Putri Mahkota. Kemudian Patih
berucap
“Ampunkah
hamba. Kami mohon kepada Puteri Yang Mulia, jangan mempersalahkan kami.
Tindakan hamba hanya melaksanakan perintah Paduka Raja Yang Mulia”,
kata Patih.
“Oh.
Aku telah mengetahui semuanya. Tindakan – tindakan para pembesar
kerajaan adalah melaksanakan perintah ayahanda tercinta. Kalian semua
tidak bersalah. Tindakan ayahanda kepada diriku memang benar karena aku
telah bersalah, memalukan Paduka Yang Mulia, dan seluruh rakyat tana
Samawa. Pepatah mengatakan tangan mencencang bahu memikul. Lagipula dulu
aku telah bersumpah dan berjanji di hadapan ayahanda. Aku telah
melakukan kesalahan maka aku pula yang harus menanggung resikonya”, kata
Sang Puteri Mahkota dengan tenang.
Perjalanan
selama sepuluh hari, telah menghabiskan bekal mereka. Seluruh rombongan
tidak dobolehkan lagi memakan bekal yang ada. Patih berusaha melaporkan
keadaan kepada Puteri Mahkota.
“Wahai
Puteri mahkota. Sekarang setelah sepuluh hari dalam perjalanan,
persiapan bekal telah habis. Seluruh rombongan tidak dibolehkan lagi
memakan bekal yang masih tersisa. Karena itu hal ini untuk sekedar
diketahui oleh Tuan Puteri”, lapor Patih kepada Lala Baka.
Lala Baka termenung sejenak. Lalu kemudian meminta kepada Patih dan seluruh Menteri yang ada di dalam kemah untuk keluar.
“Kupinta kepada semua yang hadir dalam kemah ini untuk keluar, karena saya ingin beristirahat “, ujar Lala Baka.
Maka
segeralah Patih dan para Menteri yang ada di dalam kemah keluar dari
kemah. Mereka maklum bahwa sang Puteri dalam keadaan kelelahan. Sekarang
biarkan sang Puteri beristirahat untuk menjaga supaya tidak sakit.
Didalam kemah, Lala Baka teringat akan Cincin Permata Biru pemberian
kakeknya itu. Lala Baka lalu mencoba kekuatan gaib cincin itu apakah
memang benar sakti dan dapat memberikan bantuan dalam mengatasi masalah.
Lala Baka mengangkat lengannya, ditatapnya cincin Permata Biru itu
sambil berkata.
“Ampun
Kek !. Kiranya Kakek dapat menangkap seekor menjangan besar untuk lauk
pauk kami dalam perjalanan ini”, ucap Lala Baka kepada Cincin Permata
Biru itu. Alangkah anehnya, dari cincin itu keluarlah Jin Raksasa yang
siap melaksanakan perintah Tuan Puteri. Segera setelah sang Puteri
memerintahkan maka Jin Raksasa itu langsung masuk hutan tanpa ada
seorangpun yang dapat melihatnya kecuali sang Puteri Lala Baka. Jin
Raksasa segera menangkap kijang yang besar,lalu kijang itu dibawa ke
perkemahan. Tidak ada yang melihat Jin Raksasa itu. Patih dan para
Menteri melaporkan bahwa ada kijang jantan besar masuk ke perkemahan.
“Sembelilah kijang itu,” ujar Lala Baka kepada para Menteri.
Alangkah
gembiranya seluruh rombongan pada malam itu. Mereka makan malam dengan
lauk daging menjangan yang enak dan gurih. Setelah makan malam mereka
beristirahat tidur. Patih dan para Menteri terlibat dalam pembicaraan
yang serius perihal nasib Kerajaan Tana Samawa yang ditutupi kabut
kelabu. Lebih – lebih mereka semuanya merasa iba akan nasib sang puteri
Mahkota. Tetapi tak banyak hal yang dapat dilakukan selain menjalankan
perintah Paduka Yang Mulia Baginda Raja Nuang Sasih.
Keharuan Di Liang Bedis
Keesokan
harinya berangkatlah segenap rombongan mengikuti arus Brang Kreto,
Brang Kemang Menir, Brang Punik, dan Brang Sakal. Setelah lima hari
perjalanan sampailah mereka disebuah hutan rimba belantara yang lebat.
Mereka memasuki hutan itu hingga sampailah ke tempat yang dituju yaitu
Liang Bedis. Sesampainya di Liang Bedis, maka Patih melaporkan kepada
Tuang Puteri.
“Ampun
Tuan Puteri Yang Mulia, disinilah tempat yang diperintahkan oleh
Baginda Raja sebagai tempat tinggal Tuan Puteri untuk selama –
lamanya.Kami mohon agar Tuan Puteri sabar dalam menjalani cobaan yang
berat ini. Kami seluruh rombongan senantiasa mendoakan agar Tuan Puteri
senantiasa beroleh keselamatan di tempat ini”, kata Patih mernyampaikan
isi hati seluruh rombongan.
“Terima
kasih aku ucapkan kepada Patih,Para Menteri, Para Punggawa, dan para
Pengawal Istana serta seluruh rombongan lainnya, yang telah sudi dan
bersusah payah mengantarkanku ke tempat ini. Sekarang kalian semua
kembalilah ke Istana dan kudoakan semoga semua sampai dengan selamat
kembali ke istana kerajaan ujar Lala Baka dengan sedih.
Segenap
anggota rombongan terharu mendengar ucapan Lala Baka, yaitu Puteri
Kerajaan yang selama ini akrab dan dicintai rakyatnya. Tak terasa
seluruh rombongan menitikkan air mata pertanda ada goresan luka di dada
tas nasib yang menimpa Tuan Puteri. Sebelum mereka berangkat pulang,
kembali Lala Baka berpesan kepada Patih dan Para Menteri.
“Paman
Patih dan seluruh Menteri. Sampaikan salam hormatku dan permohonan
maafku yang terakhir kepada ayahanda Baginda Raja dan juga kepada bunda
tercinta Permaisuri. Salam hormatku juga untuk Kakekku juga untuk
seluruh rakyat kerajaan Tana Samawa. Siapa tahu perpisahan ini merupakan
perpisahan untuk selama – lamanya”, ujar Lala Baka. Tak terasa seusai
mengucapkan kata – kata itu Lala Baka menangis sesenggukan. Sebagai
manusia ada berbagai rasa yang menyelinap di dalam dada. Rasa sedih dan
duka, ekahruan, kerinduan, penyesalan dan lainnya. Tetapi itulah suratan
takdir yang sudah terjadi atas diri seorang anak manusia.
“Tuan
Puteri sekarang kami moho pamit”, kata Patih mengakhiri perjumpaan itu.
Selanjutnya seluruh rombongan kembali pulang meninggalkan Sang Puteri
sendirian di dalam hutan rimba belantara yang lebat dan angker itu.
Lahirnya Sang Putera
Lala
Baka tinggal sebatangkara di hutan lebat di dalam gua Liang Bedis.
Dunia terus berputar mengikuti takdirnya, waktu berjalan bagaikan air
mengalir, berbagai peristiwa terjadi di atas dunia ini. Berbagai
peristiwa terjadi di atas dunia ini. Namun Lala Baka tidak banyak tahu
tentang peristiwa itu karena dirinya terasing dalm suatu dunia yang
hampir – hampir tak terjamah manusia. Lala Baka menjalani hidup dan
kehidupannya dengan susah payah. Kondisi kehamilannya yang kian
bertambah besar cukup menylitkannya. Segala pekerjaan dikerjakan
sendiri. Tetapi lama kelamaan Lala Baka menjadi terbiasa. Dia mencoba
menikmati segala duka derita yang dialaminya. Temannya hanyalah
kesendirian. Kesunyian hutan kini sangat akrab dengan dirinya. Suara air
mengalir, desir angin yang bertiup dicelah pepohonan, kicau burung di
puncak pepohonan, dan suara lenguh binatang penghuni hutan telah menjadi
nyanyian alam yang akrab dengannya dan menghibur hatinya. Tidak terasa
telah enam bulan lamanya Lala Baka tinggal sendirian di Liang Bedis.
Usia kandungannya telah memasuki bulan kesembilan. Berarti tak lama lagi
ia akan melahirkan anak yang sekarang dikandungnya itu. Satu- satunya
yang bisa diminta bantuannya adalah Jin Raksasa yang bersemayam di dalam
Cincin Permata Biru yang menghiasi jari maninya itu. Segala
keparluannya dilayani oleh Jin Raksasa yang setia kepada segala
perintahnya.
Akhirnya
tibalah saat melahirkan. Atas Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa Lala
Baka melahirkan seorang putera dengan selamat. Putera yang dilahirkannya
itu sungguh sangat tampan. Wajahnya yang manis manja dan ceria
memberikan kesejukan kepada Lala Baka sebagai ibunya. Ditatapnya
puteranya itu lalu diciumnya sambil mengucapkan kata- kata sayang. Tak
terasa Lala Baka tenggelam dalam keharuan. Setitik air mata jatuh
dipipinya, seolah- olah ia ingin membagi duka dengan puteranya yang
masih bayi itu. Sekarang harapan hidupnya telah lahir. Lala Baka
senantiasa berdoa kepada Yang Maha Kuasa untuk diampunkan segala dosa
dan kesalahannya. Dan semoga anak yang dilahirkan ini kelak akan menjadi
manusia yang berguna.
Beberapa
hari setelah melahirkan, Lala Baka bermaksud memberi nama kepada
puteranya. Teringat ia akan amanat kakeknya dulu, jika sang buyut telah
lahir maka berilah dia nama Lalu Adal. Sesuai dengan amanat kakeknya itu
maka Lala Baka memberi nama anaknya Lalu Adal. Selanjutnya kehidupan
Lala Baka dan puteranya di Liang Bedis berjalan aman, tenang dan
tentram.
Pertemuan Dengan Pen Batang
Disuatu
pagi yang cerah datanglah seorang pemburu kehutan itu. Pemburu itu
datang untuk memburu rusa. Namanya Pen Batang dari Dusun Senawsang.
Tiba- tiba Pen Batang menjadi heran karena ditemuinya jalan setapak
menuju anak sungai. Pen Batang mencoba mengikuti jalan setapak itu ke
arah sungai. Sesampainya di sungai Pen Batang bertambah hetan, karena
terdapat bekas mandi manusia. “Hm. Selama hidupku datang berburu ke
tempat ini belum pernah berjumpa dengan manusia” bisik Pen Batang kepada
dirinya sendiri. Rasa ingin tahu Pen Batang mendorongnya untuk kembali
mengikuti jalan setapak itu menuju ke lereng gunung tersebut. Kira-kira
25 meter dari anak sungai ditemuinya sebuh gua. Diperhatikannya gua itu
dengan teliti dan hati-hati. Pen Batang mengendap perlahan- lahan
mendekati gua itu. Tiba- tiba dari dalam gua terdengar suara.
“Apakah tujuan kakek datang kemari?” tanya suara dari dalam gua.
Pen
Batang terkejut luar biasa karena suara yang datang menyapanya dari
dalam gua itu adalah suara seorang perempuan muda, suara yang lembut dan
kedengaran ramah. Pikir Pen Batang jangan-jangan suara itu bukan suara
manusia tapi suara mahluk halus penghuni gua itu. Tetapi Pen Batang
segera juga menjawab pertanyaan yang datangnya dari dalam gua itu.
“Oh….ya. Aku datang kemari untuk berburu rusa”, kata Pen Batang agak ketakutan.
“Masuklah dulu ketempatku ini kek”, kata Lala Baka melanjutkan.
“Terima
kasih nak” kata Pen Batang. Kemudian masuklah Pen Batang ke dalam gua
Liang Bedis itu. Lala Baka menerima kehadiran orang tua itu dengan ramah
sambil menggendong puteranya.
“Kalau aku boleh tahu, Siapakah nama cucuku yang masih bayi inianak ku?” tanya Pen Batang ingin tahu.
“Oh…..ya Kek. Cucu Kakek ini namanya Lalu Adal”, jawab Lala Baka.
Begitu mendengar nama itu disebut oleh Lala Baka maka Pen Batang segera bersujud di hadapan Lala Baka.
“Ampun
Yang Mulia. Sekali lagi ampunkan hamba yang telah lancang mengganggu
ketenangan Tuan Puteri Yang Mulia”, kata Pen Batang setelah tahu siapa
sesungguhnya yang ada di depannya sekarang.
Melihat Pen Batang sujud, Lala Baka segera melanjutkan.
“Oh.
Tenanglah Kek. Hamba adalah manusia biasa. Hamba datang ketempat ini
untuk menyelamatkan diri”, kata Lala Baka sambil menarik kakek itu untuk
duduk seperti biasanya.
Kemudian Pen Batang melanjutkan pembicaraan.
“Telah
tersebar kabar bahwa Baginda Raja Kerajaan Tana Samawa telah membuang
Putri Mahkota kerajaan kesuatu tempat dihutan yang lebat. Peristiwa itu
terjadi sekitar tujuh bulan yang lalu. Jadi hamba dapat pastikan Tuan
Putri Yang Mulia adalah Putri tunggal Baginda Raja Nuang Sasaih, Raja
Tana Samawa ini”, ujar Pen Batang.
“Saya mohon pada kakek, untuk jangan sekali-kali membuka rahasia ini kepada siapapun”, kata Lala Baka kepada Pen Batang.
“Ampun
Tuanku. Hamba akan menjunjung tinggi titah Tuan Putri. Haba tidak akan
menceritakan kepada siapapun”, jawab Pen Batang serius.
“Baiklah
Kek. Tadi kakek mengatakan datang ketempat ini untuk berburu rusa.
Apakah kakek sudah memperoleh hasil buruan?” tanya Lala Baka.
“Ya.
Tuanku. Hamba datang untuk berburu. Tetapi rupanya anjing pemburu yang
hamba bawa dalam keadaan lemah sehingga tak seekorpun menjangan atau
rusa yang hamba peroleh”, kata Pen Batang menjawab pertanyan Lala Baka.
Mendenar
jawaban Pen Batang, Lala Baka Permisi sebentar ke bagian dalam gua itu.
Maka Lala Baka membisikkan kepada Cincin Permata Birunya itu.
“Kakek.
Tangkaplah seekor menjangan besar untuk kuhadiahkan kepada kakek
pemburu itu”, kata lala Baka memerintahkan kepada Jin Raksasa.
Maka
keluarlah Jin Raksasa dari Cincin Permata Biru pergi menangkap seekor
menjangan besar. Setelah Lala Baka memberikan perintah maka Lala Baka
kembali menemui Pen Batang ke teras depan gua. Tak berapa lama kemudian
Jin Raksasa telah kembali dengan membawa seekor menjangan besar.
“kek. Itulah menjangannya sebagai pemberian dariku. Silahkan kakek menyembelihnya dan membawanya pulang”, kata Lala Baka.
Pen
Batang heran menyaksikan kejadian yang aneh itu. Dia semakin
menghormati Tuan Putri Lala Baka. Rupanya Tuan Putri ini memiliki
kesaktian.
“Terima kasih Yang Mulia”, hormat Pen Batang.
“Datanglah selalu ketempat ini untuk menjunguk cucu ya kek? Ujar Lala Baka mengharap.
“Baiklah yang mulia. Hamba akan selalu datang menjenguk cucu hamba ini”, jawab Pen Batang.
“Tetapi saya mohon kepada kakek untuk jangan sekali-kali membuka rahasia bahwa aku berada ditampat ini” Lala Baka meminta.
“Hambah bersumpah. Tidak akan hamba katakan kepada siapapun juga”,jawab Pen Batang sungguh-sungguh.
“Terima kasih Kek”, ujar Lala Baka singkat.
“Kalau begitu hamba pamit Yang Mulia, supaya sebelum hari malam hamba telah sampai ketujuan”, kata Pen Batang berpamitan.
Demikianlah
kehidupan Pen Batang dari hari kehari mengambil menjangan ke Liang
Bedis. Kejadian itu telah berlangsung selama tiga tahun. Karena tingkah
laku dan tindak tanduk yang ramah dari Lala Baka sehingga inginlah Pen
Batang beserta istrinya untuk tinggal bersama Lala Baka didalam gua
Liang Bedis.
Pada
tahun 1483 Pen Batang beserta istrinya datang ke Liang Bedis untuk
tinggal bersama Puteri Mahkota Kerajaan – Lala Baka. Pen Batang beserta
istrinya diterima oleh Putri Mahkota dengan perasaan senang dan gembira.
Untuk menjamin kelangsungan hidup Pen Batang maka setiap hari menbawa
daging menjangan untuk dijual ke Dusun Senawang, Sebeok, dan Kelawis.
Itulah pencaharian Pen Batang selama tiga tahun lamanya.
Perintah Dalam Mimpi
Pada
tahun 1486 suatu malam Lala Baka bermimpi diperintahkan oleh leluhurnya
untuk pindah dari Liang Bedis menuju arah utara mengikuti arus sungai
Brang Sakal, Brang Punik, Brang Kemang Menir, dan Brang Kreto. Setelah
Lala Baka sadar dari mimpinya, lalu segera membangunkan Pen Batang
beserta istrinya guna menceritakan mimpinya.
“Kek.
Saya bermimpi bahwa leluhurku memerintahkan hamba untuk pindah dari
Liang Bedis ini menuju utara melalui dan menyuusuri aliran sungai Brang
Sakal, Brang Punik, Brang Kemang Menir, dan Brang Kreto”, kata Lala Baka
menceritakan.
“Jika demikian mimpi Tuan Putri maka laksanakanlah. Jangan ragu-ragu”, jawab Pen Batang.
“Terima kasih Kek. Kalau begitu maka sebaiknya kita segera saja berangkat pada besok pagi”, kata Lala Baka.
Setelah
lima hari berjalan Putri Lala Baka beserta putranya Lalu Adal yang
masih berumur enam tahun dengan diiringi oleh Pen Batang beserta
istrinya; Sampailah mereka di hulu sungai Brang Kreto. Lala Baka
tampaknya sudah tidak kuat lagi berjalan.
“Buatlah
kemah kek. Carilah daun-daun kayu untuk menjadi atapnya untuk tempat
tinggal kita bersama”,kata Lala Baka kepada Kakek Pen Batang.
“Baiklah
Tuan Putri”, jawab Pen Batag. Maka segeralah pen Batang Bekerja keras
untuk membuat rumah yang sederhana. (Sampai sekarang tempat itu, oleh
masyarakat Lenangguar, Dusun Teladan, Dusun Kuang Jeringo, diberi nama
Arung Ramolong).
Setelah
selama lima belas hari mereka berada di tempat tersebut Lala Baka
dikejutkan oleh putranya Lalu Adal yang meminta kepada ibunya untuk
diijinkan melihat Kerajaan Tana Samawa.
“Ibu.
Hamba ingin melihat Kerajaan Tana Samawa, serta ingin menyaksikan Putra
Mahkota Kerajaan Tana Samawa secara langsung. Dan hamba ingin melihat
Baginda Raja Nuang Sasih yang merajai Kerajaan Tana Samawa itu”, pinta
Lalu Adal kepada ibunya Lala Baka.
“Oh…
anakku Lalu Adal yang kusayangi. Janganlah kamu mimpi sayang. Tidak
mungkin kau dapat bertemu dengan Raja Nuang Sasih dan Putera Mahkota.
Cita-citamu terlalu tinggi”, jawab Lala Baka kepada puteranya.
“Kenapa tidak mungkin Bu?”, tanya Lalu Adal lebih lanjut.
“Karena kita ini adalah manusia yang hina dina, lagi pula kau masih kecil sayangku”, jawab Lala Baka menjelaskan.
“Bu
ijinkanlah aku pergi bu. Kalau ibu tidak mengijinkan maka lebih baik
aku mati saja. Aku akan bunuh diri”, kata Lalu Adal kepada ibunya.
Mendengar
itu Lala Baka sangat masygul. Anaknya itu masih terlalu kecil lagi pula
kerajaan itu masih sangat jauh letaknya. Perlu waktu beberapa hari
untuk sampai kesana. Selain itu Lala Baka kuatir jangan-jangan terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan atas diri Lalu Adal anak satu-satunya itu.
Lama juga Lala Baka berpikir dan menimbang-nimbang. Akhirnya sampailah
Lala Baka pada kesimpulan./
“Lalau
Adal anakku. Jika kau bersikeras untuk dergi ke Kerajaan Tana Samawa
maka ibu akan mengijinkanmu”, kata Lala Baka kepada putranya itu.
Maka senanglah hati Lalu Adal. Anak kecil itu bersukaria melompat-lompat tanda gembira. Maka dipeluknya ibunya itu.
“Terima
kasih Bu” kata Lalu Adal sambil memeluk ibunya. Ibuna merasa sangat
bahagia menyaksikan buah hatinya itu dalam keadaan yang gembira.
Lala Baka kemudian memanggil Kakek Pen Batang.
“Pen Batang, Kemarilah”, panggil Lala Baka.
“Daulat Tuan Putri”, jawab Pen Batang.
“Cucu
kakek ini ingin melihat Kerajaan Tana Samawa secara dekat. Bawalah Cucu
kakek kesana dan peliharalah sebaik-baiknya agar dia selamat. Sekarang
persiapkanlah suatu bekal untuk diperjalanan”, kata Lala Baka.
Pen
Batang yang disebut Kakek oleh Lala Baka itupun segera mempersiapkan
segala sesuatunya. Perjalanan menuju Kerajaan Samawa akan dilaksanakan
besok pagi. Sementara itu Lala Baka memanggil anaknya Lalu Adal.
“Lalu
Adal anakku. Besok kau bersama kakekmu Pen Batang akan berangkat menuju
ke Kerajaan Tana Samawa. Selama di perjalanan kamu akan bertemu dengan
banyak orang. Bersikaplah yang baik dan sopan” kata Lala Baka memberikan
nasehat kepada Lalu Adal.
“Baik Bu, hamba akan selalu melaksanakan nasehat ibu”, jawab lalu adal. Kemudian Lala Baka meneruskan pembicaraan.
“Apabila
nanti ada orang yang mengganggumu atau ada bahaya yang akan mengancam
maka perlihatkan cincin permata biru ini, niscaya bahaya dan ancaman
atau musuh akan musnah. Ambillah cincin ini anakku”, kata Lala Baka
sambil memberikan cincin itu kepada anaknya.
“Terima
kasih Bu”, kata Lalu Adal sambil menerima cincin itu dan dipasangkan
pada jari manisnya. Cincin itu memang ajaib, karena selalu pas di jari
orang yang memakainya.
Keesokan
harinya, pagi-pagi benar Lalu Adal telah bangun menunggu saat
keberangkatannya. Ia tampak sangat gembira. Dimasukkan bekal makanan
diperlukan selama dalam perjalanan. Ketika matahari sudah sepenggal naik
maka Lalu Adal beserta Kakeknya Pen Batang berangkat menuju Kerajaan.
“Selamat Jalan Pen Batang dan selamat jalan Putraku”, kata Lala Baka mengiring keberangkatan putranya itu.
“Selamat tinggal Bu. Doakan hamba dalam perjalanan ini”, kata Lalu Adal sambil melambaikan tangannya kepada ibunya .
Lala
Baka memandang terus kepada anaknya dan Pen Batang yang telah mulai
melangkah sampai mereka hilang dari pandangannya. Dalam hatinya Lala
Baka terus memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar anaknya
terlindung dalam perjalanan.
Pen
Batang beserta Lalu Adal berjalan naik gunung turun gunung. Akhirnya
sampailah mereka dipadang rumput yang luas yang bernama Lenang Lengan.
Disitulah dulu Lala Baka pernah beristirahat ketika dalam perjalanan
menuju ke Liang Bedis. Pen Batang dan Lalu Adal beristirahat dan
menginap di Lenang Lengan itu.
Keesokan
harinya perjalanan dilanjutkan menuju Kerajaan Tana Samawa. Mereka
melalui jalan antara Olat Utuk dan Olat Lawang, yang merupakan pintu
gerbang jalan dari Sumbawa ke Orong Telu. Singkat cerita setelah
berjalan tujuh hari lamanya sampailah Pen Batang dan Lalu Adal di Tiu
Sepadang artinya tempat menghadang. Yang dimaksud bukan menghadang
musuh, tetapi tempat masyarakat Kerajaan Tana Samawa menunggu kedatangan
masyarakat dari Lunyuk, Orong Telu, dan Batulante untuk tukar menukar
barang karena pada masa dulu cara berdagang dengan cara barter. Jadi Tiu
Sepadang merupakan pasar bagi Kerajaan Tana Samawa.
Kesaktian Cincin Permata Biru
Pen
Batang dan Lalu Adal masuk ke sebuah gubug, sambil menyaksikan para
pedagang tukar menukar barang. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suar
seruling dan gendang bertalu-talu menuju Tiu Sepadang. Lalu Adal
mendengar suara bunyi-bunyian itu dan lantas bertanya kepada Kakeknya.
“Suara apakah itu kek?”, tanyanya kepada kakeknya.
“Kata
orang yang ramai berdagang ini, Putera Mahkota Kerajaan Tana Samawa
turun mandi guna menghibur diri”, kata Pen Batang kepada Lalu Adal.
“Wah. Alangkah bahagianya menjadi Putra Raja ya Kek?”. Kata Lalu Adal.
“Benar Cucuku”, jawab Pen Batang.
Suara
bunyi-bunyian itu semakin keras. Tidak lama kemudian tampaklah dari
kejauhan iring-iringan kereta kencana dan orang-orang yang berpakaian
bagus. Lalu Adal memandang dengan penuh keheranan. Kemudian.
“Apakah itu kek?”, sambil menunjuk kepada kereta kencana.
“Itu
adalah kereta kencana, yang merupakan kereta yang dipergunakan untuk
membawa Putra Makota ke sungai atau kemana saja Putra Mahkota itu akan
pergi”, jawab Pen Batang.
“Oh. Jadi orang yang ada di dalam kereta kencana itu adalah Putra Mahkota?” tanya Lalu Adal lebih lanjut.
“Ya” jawab Pen Batang singkat.
“Siapakah
pula manusia yang banyak di belakang kereta kencanan itu kek. Dan
mereka berpakaian yang bagus sekali”, tanya Lalu Adal lebih lanjut.
“Itu
adalah Patih, Panglima, Punggawa, yang merupakan pembesar kerajaan, dan
mereka diiringi oleh bala tentara Kerajaan guna menjaga keamanan Putra
Mahkota”, jawab Pen Batang.
“Bahagia sekali menjadi Putra Raja, jauh sekali cara hidupnya dengan rakyat jelata”, kata Lalu Adal mengomentari.
Putra
Mahkota turun dari kereta kencana untuk mandi, menghibur diri,
bersenang-senang dengan para menteri serta para menterinya. Lalu Adal
memandang terus kepada rombongan Putra Mahkota itu. Dalam hatinya
saatnya sekarang untuk mencoba kesaktian Cincin Permata Biru miliknya.
“Kek. Ambil Putra Mahkota dan bawa terbang setinggi pohon kelapa”, perintah Lalu Adal kepada Jin Raksasa.
Tidak
lama kemudian keluarlah Jin Raksasa mengambil Putra Mahkota yang sedang
mandi. Putra Mahkota itu dibawa terbang setinggi pohon kelapa. Terbang
kesana kemari sesuai dengan perintah dari Lalu Adal. Melihat peristiwa
itu maka paniklah semua pengawal. Semua bala tentara berusaha
menyelamatkan putra Mahkota tetapi mereka jatuh tunggang langgang
terlempar karena didorong oleh jin raksasa. Para Mentri dan Punggawa
menjadi panik karena Putra Mahkota tetap melayang-layang setinggi pohon
kelapa. Mereka kuatir kalau-kalau putra Mahkota terlempar jatuh dan
tewas terbentur batu-batu yang banyak di sungai itu.
Ditengah-tengah
kepanikan tersebut Lalu Adal bertindak. Memerintahkan Jin Raksasa Untuk
membawa Putra Mahkota kedepannya. Jin Raksasa segera membawa Putra
Mahkota kepada Lalu Adal. Kemudian Lalu Adal menyerahkan Putra Mahkota
itu kepada pati.
“Terima
kasih anak ku. Kau telah dapat menyelamatkan Putra Mahkota dari bahaya
maut. Jika kau tidak ada tentu Putra Mahkota telah tewas. Maka celakalah
kami semua, karena pastilah Baginda Raja akan murka”, kata patih kepada
Lalu Adal.
Atas
kejadian dan peristiwa itu pihak pengawal Putra Mahkota tidak ingin
berlama-lama ditempat itu. Mereka segera pulang kembali ke kerajaan.
Mereka khuatir jangan-jangan Jin Raksasa itu kembali mengganggu Putra
Mahkota. Sesampainya di Istana mereka segera menyampaikan peristiwa yang
telah terjadi.
“Ampun
Yang Mulia. Putra Mahkota Kerajaan hampir saja tewas dibawa terbang
oleh Jin. Bala bahtera kerajaan telah berusaha menyelamatka Putera
Mahkota. Tetapi usaha mereka sia- sia karena kekuatan Jin itu sungguh
dahsat di tengah- tengah kepanikan itu, Muncul seorang anak kecil kira-
kira berumur enam tahun.
Anak
kecil itulah yang berhasil menyelamatkanPutera Mahkota dan
menyerahkanya kepada hamba “, Kata Patih melaporkan kapada Baginda Raja.
“ Dimana anak tersebut ?”. tanya baginda Raja.
“ Di Tiu Sepadang Yang Mulia”. Jawab Patih.
“ Ambil anak tersebut dan bawa diakemari “, titah Raja.
“ Daulat Tuanku, hamba akan laksanakan “, jawab Patih.
Segeralah
Patih menuju Tiu Sepadang guna menemui Lalu Adal yang telah
menyelamatkan Putera Mahkota dari bahaya maut. Sesampainya di Tiu
Sepadang Patih segera mencari dan menemui Lulu Adal.
Hai
anak kecil . Saya diperintahkan oleh Pahduka Yang Mulia untuk membawamu
menghadap ke Istana guna memperkenalkan dirimu kepada Raja “, kata
Patih Kepada Lalu Raja.
Wahai
Patih. Sampaikan Salamku Kepada Raja. Aku tak ada keperluan untuk
menghadap Raja . Tetapi kalau Raja ada keperluan padaku , datanglah Raja
menghadap kepadaku “, Kata Lalu Adal.
Patih
yang diutus oleh Baginda Raja sangat kesal. Lebih- lebih
mengingatkata-kata yang diucapkan oleh anak kecil itu sungguh sangat
menghina. Tetapi Patih tidak dapat berbuat banyak selain harus pulang
dengan tangan hamba . Tetapi apa yang diucapkan oleh anak kecil itu
tetap akan di sampaikan kepada baginda Raja Yang Mulia.
“ Mana anak kecil itu Patih ?, tanya Baginda ketika Patih datang menghadap.
“ Anak kecil tersebut membangkang Yang Mulia. Katanya aku tidak ada.
Keperluan
dengan Raja . Bila Raja ada keperluan denganku maka menghadaplah Raja
kepadaku. Demikaian kata anak kecil itu Baginda “, lopor Patih kepada
Baginda Raja Nuang Sasih.
Raja Nuang Sasih sangat murka. Tidak pernah ada orang sebelumnya yang berani membangkang atas perintahnya.
“ Kurang ajar ! Akan kuberi pelajaran anak tersebut. Siapkan Kereta Kencana “ kata Paduka Yang Mulia Raja Nuang Sasih.
Maka
segeralah Kereta Kencana di siapkan. Berangkatlah Yng Mulia menuju Tiu
Sepadang, dengan diiringi Bala Tentara Kerajaan untuk menghukum anak
kecil yang membangkang itu. Setibanya di Tiu Sepadang. Patih menunjukkan
si anak kecil yang akan di hukum itu.
“ Hai anak kecil ! Terlalu kurang ajar kau. Sekarang akan kuberi pelajaran padamu ! “, kata Raja membentak.
“
Wahai Raja yang mulia ! Sekiranya Raja masih memiliki rasa malu Raja
tidak akan berlaku seperti ini terhadap ku. Tetapi jika Raja tetap
bermaksud menghukummu maka akupun terpaksa melawan “, jawab Lalu Adal
dengan mantap.
“
Ketahuilah wahai anak kecil !. Tak seorangpun yang berada di wilayah
kekuasaanku ini yang berani yang membangkang atas apa yang telah aku
perintahkan sekarang kau berani melawanku maka aku pun terpaksa
menghukummu “, kata Raja Nuang Sasih Murka.
Sejurus
kemudian Raja Nuang Sasih yang juga memiliki kesaktian yang tinggi
telah bessiap untuk menyerang. Sedangkan Lalu Adal juga memperhatikan
gelagat bahwa Raja tidak main-main dan telah siap untuk menyerang
dirinya. Kemudian Lalu Adal mengangkat lengannya dan mengarahkan Cincin
Permata Biru pembelian Ibunya itu ke arah Raja. Lalu Adal telah siap
untuk menyerang dirinya . Kemudian Lalu Adal menangkat lengannya dan
mengarahkan Cincin Permata Biru pembelian Ibunya itu kearah Raja. Lalu
Adal telah siap untuk memberikan perintah kepada cincinya itu.
Pada
saat Cincin Permata Biru itu diarahkan kepada Raja tampaklah oleh Raja
Sinar kebiru- biruan memancar dari cincin itu. Sinar itu seakan-akan
mengandung kekuatan yang luar biasa . Sekujur tubuh Baginda Raja Nuang
Sasih gemetar seolah-olah tenaga yang dimikianya telah habis. Dalam
keadaan seperti itu Baginda Raja Nuang Sasih bertanya dalam hatinya,
siapakah gerangan anak kecil yang sakti ini. Lalu Baginda turun dari
Kereta Kencana seraya bertanya.
“ Wahai anak kecil. Kepunyaan siapakah cincin itu ?” tanya Bagiinda Raja.
“ Cincin ini berada di tanganku maka berarti cincin ini adalah milikku !” jawab Lalu Adal.
“ Dan dimanakah Ibumu ?”, tanya Raja Nuang Sasih selanjutnya.
“ Ibuku telah meninggal dunia !” jawab Lalu Adal merahasiakan tentang ibunya.
Tampaknya
Raja Nuang Sasih telah mengetahui bahwa anak kecil yang ada di
hadapannya itu tidah lain adalah cucunya putera dari lala baka yang
selama tujuh tahun telah di buang ke hutan belantara disebuah gua yang
bernama Liang Bedis. Raja Nuang Sasih mendekati cucunya itu kemudian
bertanya.
“ Wahai anak kecil siapakah namamu dan siapakah nama Ibumu ?” tanya Raja Nuang Sasih untuk memantapkan keyakinannya.
“ Namaku Lalu Adal dan Ibuku bernama Lala Baka “, jawab Lalu Adal Polos.
“ Maka langsung saja Baginda Raja Nuang Sasih memeluk Lalu Adal.
“
Oh. Kau adalah cucuku. Maafkanlah aku cucuku. Aku adalah kakekmu !”
kata Baginda Raja. “ Sekarang Cucuku ikuti aku kau tinggallah di
Istana Kerajaan “ lanjut Raja mengajak cucunya.
“
Hamba mau ke istana, tetepi bawalah kakemu Pen Batang, karena
beliaulah yang telah merawat dan memeliharaku beserta Ibuku “, kata Lalu
Adal.
Maka
berangkatlah Lalu Adal beserta Pen Batang dengan menaiki Kereta Kencana
bersama Raja Nuang Sasih. Sesampainya di istana, penuh sesak istana
kerajaan di kunjungi oleh rakyat kerayaan. Mereka ingin menyaksikan
putera Lala Baka rakyat tahu rakyatnya penuh sesak di Istana maka Raja
Nuang Sasih barsabda.
“
Wahai seluruh rakyatku. Anak kecil yang duduk di haribaanku ini adalah
cucuku bernama Lalu Adal. Dan orang tua yang ada di sampingku ini
adalah Batang. Dialah yang telah memelihara Lala Baka dan cucuku Lalu
Adal di tempat pembuangan Liang Bedis.”
Suasana kerajaan memang ramai selama beberapa hari. Lalu Adal merasa
sangat senang melihat-lihat istana yang indah. Dia sangat disayangi
oleh keluarga istana. Baginda Raja Nuang Sasih nampaknya ingin segera
mengetahui dengan pasti bagaimana keadaan Putri Mahkota Lala Baka. Pada
suatu pagi yang cerah Baginda Raja memanggil Pen Batang untuk
berbincang-bincang tentang kehidupan Lala Baka selama dalam perawatan
Pen Batang.
“Wahai Pen Batang. Apakah benar putriku Lala Baka telah meninggal ?.Ataukah masih hidup?”, tanya Raja Nuang Sasih.
“Ampun yang Mulia. Putri Mahkota Kerajaan masih hidup. Sekarang
Tuan Puteri berada di Arung Ramolong , tepatnya di Paruwak Dope Ramas
dan dalam keadaan yang sehat”,jawab Pen Batang.
“Oh,jadi putriku masih hidup?jika demikian maka putriku itu harus segera dijemput”,sambung Raja Nuang Sasih.
Mengetahui bahwa tuan puteri masih hidup dan sehat ,maka Raja
Nuang Sasih segera memerintahkan kepada patih kerajaanuntuk menjemputnya
. Penjemputan itu dilaksanakan pada hari itu juga. Dalam penjemputan
itu Baginda Raja Nuang Sasihikut serta.
Setelah
segala sesuatu dipersiapkan, maka berangkatlah Yang Mulia Raja Nuang
Sasih diiringi oleh patih dan panglima kerajaan beserta pasukan tentara
menuju ke Arung Ramolong.Perjalanan rombongan mengikuti daerah aliran
sungai Brang Biji ke huludan membelok ke arah Dusun Kareke. Pada hari
ke-tujuh sampailah rombongan di Lenang Lengan yaitusebuah padang rumput
yang luas. Mereka beristirahat sebentar , kemudian melanjutkan
perjalanan menuju Arung Ramolong melalui Paruwak Dope Ramas. Tidak lama
kemudian sampailah rombongan kerajaan di Arung Ramolong , tepatnya
tempat Lala Baka berada sekarang di Paruwak Dope Ramas. Baginda Raja
melihat ada sebuah gubuk dekat sungai Brang Kreto.
Di dalam gubung , Lala Baka dan Nenek (istri Pen Batang).
Sedang bercakap-cakap.Tiba-tiba mereka berdua melihat ke arah datangnya
rombongan .
“ Rombongan apakah kiranya yang menuju ke tempat kita ini Nek? “, tanya Lala Baka.
“ Kalau aku tidak salah lihat, bukankah anak yang ada dalam
juli (usungan) itu adalah cucuku Lalu Adal”, kata sang Nenek.
“ Benar Nek. Ini cucu Nenek. Dan yang sebelahnya adalah
ayahanda tercinta Raja Nuang Sasih Raja Kerajaan Tanah Samawa. Apakah
gerangan tujuan Yang Mulia datang ke tempat ini Nek ?”, kata Lala Baka
diliputi berbagai macam tanda tanya.
“ Entahlah anakku. Hamba tidak tahu”, jawab sang nenek.
Sesampainya di kediaman segera saja Raja Nuang Sasih menemui
Puteri Mahkota. Mereka berpeluk-pelukan melepas kerinduan. Selama tujuh
tahun mereka berpisah, tidak disangka dan tadak dikira mereka akan
dapat bertemu lagi. Lala Baka telah menjalani hukuman yang di kenakan
kepadanya oleh ayahnya itu. mestipun hukuman itu tidak di sebutkan kapan
akan berakhir, namun Baginda Raja sudah tidah mempermasalahkanya lagi.
Pepatah mengatakan, “ Sebuas-buasnya harimau tidak akan memakan anaknya
“. Demikian pula halnya dengan Raja Nuang Sasih. Sekejam-kejamnya
seorang ayah suatu saat akan datang juga kebijaksanaannya yang dilandasi
perasaan kasih sayang kepada anaknya.
“maafkan akunak!aku telah menghukummu selama tujuh tahun.
Kumohon padamu janganlah menaruh dendam padaku”, kata Raja Nuang Sasih
kepada putrinya itu.
“Ampun Yang Mulia. Hamba sadar bahwa hambalah yang
bersalah. Maafkan dan ampunilah hamba.Dan hamba sangat beterima kasih
kepada Yang Mula”,kata Lala Baka sambil menitikkan air mata tanda
terharu.
Pertemuan antara orangtua dan anaknya itu begitu
mengharukan. Semua yang menyaksikan merasa terharu dan meneteskan air
mata. Meraka berdua antara Raja NUang Sasih dan Lala Baka sebagai Puteri
Mahkota memang sangat dicintai rakyatnya. Raja yang adil telah
memberikan kesejahteraan kepada selurh rakyathidup dalam keadaan aman
dan tantram.
Wahai Puteriku! Aku datang kemari untuk menjemputmu dan
membawamu ke Istana Kerajaan Sumbawa.Ibunda Permaisuri sagat
merindukanmu. Demikian pula rakyatku sudah sangat merindukanmu untuk
hadir kemali di engah-tengah merka”,kata Raja Nuang Sasih kepada Pueri
Mahkota.
“Baiklah Padka Ayahanda”.jawab Lala Baka singkat .
Maka berangkatlah rombongan kembali menuju kerajaan Tana
Samawa dengan perasaan gembira dan sukacita. Beberapa lama kemudian
sampailah rombongan di padang rumput lenang lengan. Di tempat itu Lala
Baka memohon kepada Yang Mulia untuk berhenti sejenak.
“ Ampun Yang Mulia Hamba mohon kepada yang Mulis. Kiranya
hamba tidak diizinkan oleh leluhur untuk dapat melanjutkan perjalanan ke
Tana Samawa. Kiranya padang Rumput inilah yang akan menjadi kampung
halaman hamba kata Tuan Puteri.
Nampaknya dalam perjalanan itu Lala Baka mendapat bisikan
dari arwah leluhernya yang tidak mengijinkannya untuk pergi ke Tana
Samawa. Dan Arwa leluhur memerintahkannya untuk bertempat tinggal di
Lenang Lengan itu. Dalam kepercayaan hindu pantang untuk melanggar
perintah leluhur. Nampaknya Raja Nuang Sasih memaklumi hal itu.
Wahai
putriku. Jika itu merupakan perintah leluhur kita maka aku tidak akan
menolak permintaanmu. Tinggallah ditempat ini sebagai kampung halamanmu.
Cuma apabila cucuku kelak akan memegang Payung Serep Edang maka cucuku
akan kuangkat menjadi Meke Serep. ”Sabda Baginda Raja kepada putrinya.
Akhirnya
seluruh masyarakat Lenangguar, Tatebal, Late, Ledang, Ramurung,
Pamangong, Kuang Jaringo, Teladan, Gunung Setia, menamakan tempat
tersebut Suka Mulia.
Sekarang
ini para seniman dan budayawan Desa Lenangguar mendirikan sanggar Seni
Budaya Tana Samawa : Sanggar Suka Mulia Desa Lenangguar Kecamatan Ropang
untuk mengabadikan dan melestarikan nama Suka Mulia sebagai bagian
dari sejarah masa lampau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar