Oleh: Wahyu Firmansyah
“Yang saya tahu ada investor besar di Sumbawa Barat dan sangat
senang dengan hal itu. Sangat banyak kontribusi untuk bidang pendidikan,” (Joaqin Monserrate, Konjen Amerika Serikat, PSnews)
Ungkapan Konsul Jendral (Konjen) Amerika ini disampaikannya ketika
dia berkunjung ke Kabupaten Sumbawa pada 28 Maret 2013 lalu. Tujuan
kedatangannya adalah untuk menampung masukan-masukan dari masyarakat
atas keberadaan perusahaan asal negaranya (Newmont) di Sumbawa.
Sebagai seorang Konsul Jendral Amerika yang diangkat dan ditugasi
sebagai wakil negaranya dalam mengurus kepentingan perdagangan atau
perihal warganegaranya di negara lain, ungkapan sang Konjen ini patutlah
dicermati secara mendalam. Dalam ungkapannya di atas, sang Konjen
menyimpulkan sendiri bahwa keberadaan investor asal negeranya telah
memberi kontribusi sangat banyak bagi pendidikan di KSB. Benarkah hal
tersebut?
Analisis Bahasa
Jika dianalisa ungkapan Konjen Amerika ini dalam konsep semantik dan
gramatika bahasa Indonesia, kita dapat menyimpulkan bahwa sang Konjen
sangat bangga diri (narsis) bahwa kontribusi perusahaan asal negaranya
telah sangat banyak menguntungkan pendidikan di KSB.
Ungkapan yang digunakan sang Konjen adalah gaya bahasa (majas)
hiperbolis. Majas ini digunakan untuk melebih-lebihkan sesuatu yang pada
kenyataannya tidaklah begitu. Penggunaan frasa “sangat banyak” yang
bermakna superlatif (paling atau ter-) adalah penanda bahwa yang telah
dilakukan oleh Newmont pada pendidikan di Sumbawa Barat dianggapnya
sudah sangat banyak, paling banyak, terbanyak.
Diskriminatif
Dalam struktur kepemilikan saham PT NNT, terdapat 2,2% saham atas nama
PT Masbaga. Perusahaan ini dimiliki oleh Yayasan Pendidikan Sanata
Dharma Yogyakarta dan Akademi Teknik Mesin (ATMI). Agar Masbaga bisa
mendapatkan saham ini, Newmont meminjamkan uangnya kepada perusahaan
yang tidak lain adalah institusi pendidikan di luar KSB itu.
Apa artinya ini? Tentu saja kenyataan ini langsung mementahkan
ungkapan sang Konjen bahwa kontribusi Newmont kepada pendidikan di KSB
sangat banyak. Memiliki saham berarti memiliki hak atas kepemilikan
perusahaan. Bayangkan berapa ratus milyar uang yang didapatkan yayasan
pendidikan tersebut dalam setiap pembagian deviden sementara pendidikan
di KSB ini carut marut.
Beberapa minggu sebelum kedatangan Konjen Amerika Serikat ke tanah
Sumbawa ini juga, saya baru saja menjuarai lomba karya tulis ilmiah
guru. Lomba ini dilaksanakan oleh sebuah yayasan yang disupport oleh PT
NNT. Untuk mengikuti lomba ini, saya harus riset dan dua kali
bolak-balik Seteluk-Maluk dengan biaya sendiri.
Pikir saya waktu itu, lelah ini pasti akan terbayar dengan
penghargaan oleh PT NNT kepada para juara. Penghargaan itu nanti, jika
dalam bentuk uang, akan saya pakai untuk membiayai penelitian-penelitian
lain yang sedikit tidak, akan meningkatkan diskursus pendidikan di
Sumbawa Barat. Begitu pikir saya.
Tapi sayang beribu sayang, setelah menerima hadiah dan bersalaman
dengan pihak Comdev PT NNT, hadiah lomba adalah sebuah piala, piagam
dari kertas manila, dan uang sebesar Rp.200.000 (dua ratus ribu rupiah).
Itulah penghargaan kepada seorang guru atas karya ilmiahnya. Saya
ketawa dalam hati!
Permasalahannya Ada Pada Kualitas Guru
Beginikah cara Newmont menghargai pendidikan di KSB? Apa yang bisa
dilakukan dengan uang “200 rup”? Tentu saja uang segitu belum bisa
menutup biaya pengeluaran lomba, apalagi untuk menambah kompetensi dalam
penelitian selanjutnya. Sebagai catatan, protes saya bukan pada nominal
hadiah, tapi keseriusan PT NNT dalam membenahi kualitas pendidikan di
KSB sebagai imbal balik setelah mereka menguras kekayaan KSB.
Salah satu permasalahan pendidikan yang sangat penting di KSB dan NTB
adalah kualitas guru di NTB masih sangat rendah bahkan di bawah
rata-rata nasional. Hasil rata-rata Uji Kompetensi Guru di NTB yang
dilakukan oleh Kemendikbud adalah 40 pada skala 100. Artinya kalau para
guru di NTB ini ikut ulangan, nilai rata-rata rapornya cuman 40. Merah!
Jika para guru saja nilainya merah, apatah lagi nilai muridnya akan
menjadi warna apa.
Mengutip Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya yang berjudul Jejak
Langkah, dia menulis, “Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan
bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal
prinsip. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya.”
Guru di KSB tentu bukanlah bandit seperti yang disampaikan Pram. Mereka
adalah abdi negara sebagai penentu kesejahteraan masyarakat. Secara
jumlah, guru di Sumbawa Barat telah cukup, bahkan lebih. Dalam release
Badan Pusat Statistik Sumbawa Barat 2011 rasio jumlah guru dan murid
pada tingkat SD adalah 1 : 13, SMP 1 : 7, dan SMA 1 : 6. Jumlah ini
sudah sangat banyak, bahkan Unesco hanya mematok rasio guru murid
sebanyak 1 : 24. Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa permasalahan
yg kita hadapi dalam dunia pendidikan adalah kualitas guru, bukan
kuantitas guru.
Solusi
Ini bagian yang paling menjengkelkan kalau diminta memberi solusi.
Bagaimana tidak, saya yang bukan bagian dari perusahaan harus juga
memikirkan solusi untuk perusahaan multinasional yang mestinya punya
cetak biru pemberdayaan masyarakat yang bagus. Ini seharusnya tugas para
karyawan community development dan community relation yang punya gaji
besar untuk memikirkan solusi pengembangan masyarakat KSB ini. Tapi,
untuk menghormati “budaya” orang Indonesia yang sinis kalau tidak diberi
solusi, saya akan mencoba memberi solusi.
Dalam bidang pendidikan, PT NNT mungkin telah memberi beasiswa kepada
siswa dan mahasiswa berprestasi di KSB. Tapi apakah ini tepat? Bijak
saya ini kurang terlalu tepat, karena Pemda KSB dan Pemprov NTB, juga
memberikan beasiswa dan subsidi pendidikan kepada mereka. PT NNT juga
mungkin telah memberi fasilitas media pendidikan bagi beberapa sekolah
favorit di KSB. Tapi lagi-lagi wilayah ini sudah diambil pemerintah
pusat.
Permasalahan di KSB adalah tingginya ketimpangan (disparitas), baik
itu pendapatan masyarakat maupun kualitas pendidikannya. Kesenjangan
pendapatan bisa dilihat dari tingginya PDRB di bidang pertambangan yakni
sebesar 92% dari total PDRB Sumbawa Barat, padahal yang bekerja di
sektor ini tidaklah banyak. Begitupun dengan kualitas pendidikannya,
posisi buncit NTB yang saling kejar dengan Papua dalam IPM-nya menjadi
bukti bobroknya pendidikan kita.
Dengan meningkatkan kualitas Guru di KSB, imbasnya akan dapat
dirasakan oleh semua murid, baik yang miskin maupun yang kaya, yang
pintar maupun yang belum pintar. Selama ini tidak ada pendidikan atau
pelatihan untuk guru guna meningkatkan kemampuannya. Guru dilepas begitu
saja baik oleh pemerintah maupun pihak-pihak terkait.
Sebagai pembanding, guru di Singapura wajib mengikuti pelatihan
peningkatan mutu hingga 100 jam per tahun, sementara China memberi
pelatihan kepada guru-gurunya hingga 240 jam per lima tahun. Ini
bertolak belakang dengan Indonesia yang menurut survei Federasi Serikat
Guru Indonesia (FSGI), sebanyak 62 persen guru Sekolah Dasar tidak
pernah mendapat pelatihan. Bahkan ada guru yang sampai pensiun tidak
pernah diberi pelatihan.
Memang baru-baru ini ada kegiatan KKG (Kelompok Kerja Guru) atau MGMP
(Musyawarah Guru Mata Pelajaran) tapi ini tidak efektif dan tidak
profesional karena pada praktiknya guru diajar oleh sesama guru, lalu
“hanya” menjadi ajang silaturahmi. Ruang-ruang inilah yang mestinya
dimasuki oleh pemberdayaan Newmont. Ruang ini tidak bisa diharapkan
hanya bersumber dari pemerintah karena anggaran pemerintah sudah
kualahan pada porsi belanja pegawai yang membengkak.
Akhirul kalam, semoga Newmont sangat banyak kontribusinya bagi
pendidikan di Tanah Samawa, bukan malah sangat banyak bagi pendidikan di
luar wilayah ini. Memberdayakan masyarakat bukan berarti hanya sekedar
menganggarkan uang lalu selesai, tapi juga direncanakan dengan matang,
diawasi dan dievaluasi. Mari kita benahi pendidikan di KSB ini bersama!
*Penulis adalah guru di Seteluk, juga pengurus Forum Kesenian Seteluk
(Forkeset). Email: wahyufirmansyah1 @ gmail.com Didedikasikan untuk
kemajuan pendidikan di Sumbawa dan KSB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar