Oleh : YUDI MANYURANG, S.IP*
*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Staf Pengajar AMIKOM Sumbawa.
“…Sejarah
memang tidak memberikan solusi, tetapi memberikan bahan untuk
mendapatkan Kearifan. Bangsa ini bukan hanya kurang mengarifi sejarah,
tetapi juga masih terus memelihara dendam sejarah. Juga sibuk mencari
kebenaran sendiri, sehingga lupa bagaimana merajut KeIndonesiaan.
Padahal, hanyalah bangsa yang bisa melupakan dendam sejarahnyalah yang
akan menjadi bangsa yang besar…”
(Taufik Abdullah; Kompas, 6 Agustus 2005)
..Gila we’ batin tu kami
Den kuning bae si guger
Pang kami kasungkar puin..
(Lawas Samawa)
Sekilas Tentang Musakara Rea
Beberapa
waktu yang lalu, telah dilaksanakan Musakara Rea Lembaga Adat Tana
Samawa (LATS) dalam rangka merevitalisasi diri agar kedepannya mampu
memelihara segenap tata nilai yang terkandung didalam adat istiadat,
tradisi, kearifan lokal dan berbagai peninggalan warisan sejarah yang
harus dilestarikan, diwariskan serta dikembangkan kepada generasi akan
datang sebagai pewaris adat dan budaya Tau ke Tana’ Samawa. Berangkat
dari semangat kebersamaan dan kekeluargaan sehingga event besar tersebut
mampu terlaksana dengan “baik” meskipun pada dasarnya tidak menyentuh
akar dari kebudayaan kita sebagai Tau ke Tana’ Samawa, namun Penobatan
Putra Mahkota DMA Kaharuddin Sebagai SULTAN SUMBAWA dengan Gelar SULTAN
KAHARUDDIN IV. Hanya penobatan inilah yang setidaknya membuat para
peserta merasa senang dan terharu. Mungkin bagi sebagian kalangan
melihat event tersebut telah menghasilkan sesuatu yang besar sesuai
dengan nama Musakara Rea atau telah menciptakan sejarah baru bagi Tau ke
Tana’ Samawa. Akan tetapi semua itu, ternyata kita hanya mampu untuk
berkhayal tentang adat istiadat, budaya, tradisi, kearifan local serta
berbagai peninggalan sejarah. Bagaimana tidak, dalam proses Musakarah
Rea yang notabene BESAR hanya mampu melahirkan pemikir-pemikir yang
kerdil yang hanya ingin mempertahankan dan memperkenalkan kehebatan diri
sendiri tanpa mau sedikit mendengar, merenungkan serta meresapi apa
sebetulnya hakekat Musakara Rea sehingga kegiatan ini sangat penting
untuk dilakukan. Tetapi yang terjadi adalah upaya mengukuhkan budaya
‘menjilat’ atau didalam bahasa Samawa kita “malela”, sehingga tak banyak
dari peserta yang kecewa terhadap pelaksanaannya karena tidak sesuai
dengan nilai-nilai kita sebagai Tau ke Tana’ Samawa. Inilah suasana yang
terjadi didalam proses Musakara Rea. Tentu semua ini membuat persendian
kita kecewa.
Sebagai
generasi muda yang telah ambil bagian dalam event tersebut sangat
menaruh harapan besar pada Musakarah Rea, untuk membicarakan Sumbawa
dalam banyak hal terlebih berbicara Sumbawa sampai ke akar-akarnya,
misalnya sejarah masuknya Islam ke Tana’ Samawa dan persoalan yang
menyangkut tentang hukum adat kita Tau ke Tana’ Samawa, ini hampir tak
tersentuh. Kenapa ini penting untuk dikemukakan karena ada beberapa
versi literature yang berbicara tentang sejarah masuknya islam ke Tana
Samawa, namun mungkin hal ini tak banyak orang yang mengetahui. Untuk
lebih memperjelas, ada tiga versi tentang sejarah masuknya islam ke Tana
Samawa yaitu (1). Manggaukang Raba, mengatakan dalam Bukunya bahwa
Islam masuk ke Tana Samawa sekitar akhir abad 15 dan awal abad 16 atau
tepatnya tahun 1623 masehi. (2). Dalam Buku Bima and Sumbawa terjemahan
Muslimin Yasin, menuliskan bahwa Islamisasi di Tana Samawa adalah
sekitar tahun 1620 masehi. (3). Dalam buku Begawan Hamid yang
dipublikasikan oleh Dinas pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Sumbawa,
mengatakan bahwa Islam masuk ke Sumbawa sekitar tahun 1674 masehi. Ini
penting untuk kiranya dipublikasikan karena kekwatiran kita pada
generasi akan datang yang telah membaca salah satu versi sehingga
menjadi satu kesimpulan yang pada akhirnya akan menyesatkan dalam ruang
lingkup sejarah yang memalukan sekaligus memilukan kita karena
bukti-bukti dari literatur yang ada adalah gambaran sesungguhnya bahwa
sejarah masuknya Islam ke Tana Samawa masih menjadi perdebatan yang
memerlukan kajian dan penelitian secara otentik serta mampu kita
pertanggungjawabkan disamping bahwa sesungguhnya proses islamisasi
Sumbawa masih belum jelas dan bisa dikatakan “Rapuh”. Catatan kritis
yang bisa disampaikan kepada para penulis sejarah, adat istiadat dan
budaya Samawa, kiranya mencantumkan literatur yang jelas sehingga dapat
dipertanggungjawabkan tentang apa yang ditulisnya.
Sementara
di sisi lain, Sultan Muhammad Kaharuddin IV dalam silaturrahmi dengan
pers (selasa,18/2/2011) di Istana Bala Kuning. Yang Mulia Sultan
Kaharuddin IV menjelaskan sekaligus menegaskan bahwa Hari Jadi Sumbawa
jatuh pada tanggal 1 Muharram 1648. Perhitungan ini berdasarkan pada
resminya Sumbawa menjadi Kesultanan dan resmi menjadikan nilai-nilai
Islam sebagai pedoman bernegara dan bermasyarakat. (Baca : Gaung NTB,
Rabu, 19 Januari 2011). Jika demikian adanya, maka satu hal yang mungkin
menjadi pertanyaan kita adalah apa korelasi antara Kerajaan dan
Kesultanan Sumbawa yang resmi terbentuk dengan empat Kerajaan Tertua di
Tana’ Samawa seperti yang telah kita ketahui bersama yaitu, Kerajaan
SERAN, Kerajaan UTAN KADALI, Kerajaan SAMAWA PUIN dan Kerajaan EMPANG?
Jika kita
mengacu pada dua literatur diatas, Manggaukang Raba dan Muslimin Yasin
maka bisa kita simpulkan bahwa sesungguhnya Islam telah lebih dulu masuk
ke Tana’ Samawa sebelum Kerajaan dan Kesultanan Sumbawa resmi
didirikan. Kesimpulan ini cukuplah mendasar mengingat dan melihat tahun
masuknya Islam atau proses Islamisasi di Tana’ Samawa. Sementara jika
kita mengacu pada literatur Begawan Hamid, maka kesimpulannya adalah
bahwa telah resmi Kerajaan dan Kesultanan Sumbawa didirikan barulah
Islam masuk ke Tana’ Samawa. Jika benar demikian, maka TUNGKUP SAMAWA
dimana harus ditempatkan di dalam kontek sejarah Tau ke Tana’ Samawa
karena Tungkup Samawa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah
dan proses berdirinya Kerajaan dan Kesultanan Samawa serta Islamisasi
Tana’ Samawa. Sungguh menyesatkan kita semua…
Lantas
sekarang kita punya keinginan untuk mengembangkan segenap apa yang telah
kita miliki sebagai warisan nenek moyang kita, dengan bangga kita
memperkenalkan ke dunia luar tentang Sumbawa dengan segala
ke-Samawa-annya padahal sejarah sebagai pondasi kita untuk berpijak
masih kabur dan tidak dapat kita pertanggungjawabkan secara ilmiah.
Suatu kondisi yang sangat menyesatkan buat kita semua. Lantas, apakah
kondisi seperti ini masih tetap kita pelihara sebagai bagian dari proses
sejarah kita? Orang bijak, tentunya akan menjawab semua ini.
Berangkat
dari lawas tersebut di atas, maka harapan besar generasi muda yang
terlibat didalam Musakarah Rea LATS adalah mengangkat sekaligus
membongkar tentang segenap tata nilai yang terkandung dalam adat
istiadat, budaya, tradisi dan kearifan lokal sehingga mampu mengetahui,
mengerti dan memahami dengan sebenar-benarnya sampai ke akar-akarnya
tentang asal-usul dan sejarah Tau ke Tana’ Samawa. Namun, ternyata semua
itu jauh api dari panggangnya karena mungkin tak banyak
yang tahu tentang Tau ke Tana’ Samawa yang sesungguhnya selain Yang
Mulia Sultan Kaharuddin IV yang telah banyak memberikan tauladan dan
pencerahan yang mencerdaskan karena tanpa itu Musakara Rea tidak akan
berarti apa-apa, padahal panitia pelaksana terutama seksi penyiapan
tempat dan arena yang telah bekerja keras untuk turut mensukseskan acara
tersebut. Lantas, mau dibawa kemana generasi muda Sumbawa jika adat
istiadat Samawa belum terkuak dan belum menjadi identitas kita bersama.
Berbicara
tentang budaya Tau ke Tana’ Samawa bukanlah hal yang mudah untuk
dikemukakan karena budaya kita Tau ke Tana’ Samawa bukanlah budaya yang
datangnya begitu saja atau budaya yang serampangan akan tetapi berbicara
budaya Tau ke Tana’ Samawa harus membutuhkan kajian dan penggalian
secara lebih mendalam untuk mengangkat harkat dan martabat baik budaya
dan religi Tau ke Tana’ Samawa. Inilah yang tidak terjadi di dalam
Musakarah Rea LATS. Jadi tidak segampang yang kita bayangkan untuk
membuka keaslian atau menilai Adat dan Budaya Sumbawa yang sebenarnya.
Ini bisa kita buktikan dengan lawas kita Tau Samawa :
…Uleng lalaja tontonan,
Sate gayong bangsa sumer.
Parasa gampang rua na’…
…Mana pitu ilat mu ntek
Tingi mu jonyong gagala
Po’ gading siong peras pang…
Berkaca
dari lawas diatas, maka benang merah yang bisa kita tarik adalah bahwa
sesungguhnya upaya pelestarian, pewarisan dan pengembangan adat dan
budaya Tau ke Tana’ Samawa tidak terlepas dari pengetahuan dan
pengertian serta pemahaman tentang akar adat dan budaya serta akar
sejarah dalam merumuskan gambaran masa depan karena tanpa semua itu
mustahil adat dan budaya kita bisa kokoh didalam serbuan arus
globalisasi dan modernisasi yang semakin gencar.
Disamping
itu juga, kita berharap bahwa pelestarian, pewarisan dan pengembangan
segenap tata nilai yang terkandung didalam adat istiadat dan budaya,
tradisi dan kearifan lokal mampu untuk berbicara banyak dalam proses
transpormasi budaya sehingga mampu menjadi modal sosial dan etos Tau
Samawa karena tanpak modal sosial dan etos kebersamaan atau rasa
memiliki ke-Samawa-an tentu akan sia-sia agenda besar yang akan kita
gagas.
Lantas, apa itu Tungkup Samawa?
Berangkat
dari kekokohan dan kharisma serta karakteristik Kerajaan dan Kesultanan
Sumbawa sehingga menjadi Kerajaan dan Kesultanan yang cukup di segani
di seantero jagad raya. Sebagai bukti kekokohan Kerajaan dan Kesultanan
Samawa, secara fisik dapat kita temukan Istana Tua Dalam Loka yang
sampai saat ini masih berdiri kokoh ditengah-tengah kita dan bahkan
mungkin Istana Tua Dalam Loka merupakan bangunan kayu terbesar di Asia
Tenggara. Disamping itu juga, Istana Tua Dalam Loka merupakan benteng
tempat Sultan dan Keluarganya berteduh dan bekerja untuk kesejahteraan
dan keadilan serta kemakmuran Tau ke Tana’ Samawa. Namun, secara non
fisik benteng Kerajaan dan Kesultanan Samawa tak banyak yang tahu dan
bahkan mungkin Tau Samawa sendiri tidak tahu menau sehingga bisa
disimpulkan benteng non fisik itu tidak ada. Akan tetapi sesungguhnya
hal itu ada dan dimiliki oleh Kerajaan dan Kesultanan Samawa. Untuk
lebih jelas, secara non fisiknya telah didirikan suatu benteng yaitu
TUNGKUP SAMAWA.
Tungkup
merupakan Benteng Kerajaan dan kesultanan Sumbawa yang notabene adalah
Benteng “Mistis” kerajaan dan kesultanan Sumbawa pada saat pertamakali
Kerajaan Sumbawa didirikan di Tana’ intan bulaeng ini. Tungkup adalah
bukti sejarah kekokohan dan kejantanan serta harkat dan martabat
Kerajaan dan Kesultanan Sumbawa kala itu. Karena Tungkup sangat erat
kaitannya dengan asal-usul kerajaan dan Kesultanan Sumbawa atau proses
berdirinya Kerajaan dan kesultanan Sumbawa. Disamping itu juga yang tak
kalah pentingnya adalah kaitan Tungkup Samawa dengan sejarah masuknya
Islam ke Tana’ Samawa. Namun, sangat disayangkan keberadaannya hampir
tidak diketahui oleh banyak orang apalagi fungsi dan tujuan utama
didirikannya. Akan tetapi bagi kalangan-kalangan tertentu
cukup paham tentang keberadaan Tungkup Samawa namun berbicara tentang
Tungkup seakan-akan menjadi hal yang Tabu untuk dibicarakan padahal ini
sangat penting untuk sebuah pondasi ataupun akar didalam menentukan
grand disain Sumbawa masa depan. Jika demikian adanya, lantas apa sesungguhnya
korelasi Tungkup Samawa dengan Sejarah masuknya Islam ke Tana Samawa?
Ini penting kiranya untuk diungkapkan sebagai bahan refrensi kita
didalam menulis kembali tentang sejarah kita sebagai Tau ke Tana’ Samawa
sehingga dapat memberikan pandangan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dalam banyak hal.
Informasi
yang berkembang dari beberapa tokoh masyarakat yang berhasil penulis
temui adalah Bapak M. Nagib Uyang, salah satu tokoh masyarakat Utan dan
Bapak Muslimin Yasin, sejarawan Tana’ Samawa. Beliau mengatakan bahwa
lokasi Tungkup Samawa berada diantara jembatan dan Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Sumbawa, yang tepatnya dulu disitu terdapat pohon beringin
sebagai tempat dan lokasi Tungkup Samawa dibangun saat itu. Konon saat
itu, aroma mistis juga turut mewarnai perjalanan prosesi pembuatan dan
penetapan Tungkup Samawa dengan harapan Kerajaan dan Kesultanan Sumbawa
selalu berada didalam perlindungan Yang Maha Kuasa dan dari ancaman
malapetaka serta bala bahaya yang bisa merusak tatanan kehidupan dan
keberlangsungan Kerajaan dan Kesultanan Sumbawa demi kemakmuran Tau ke Tana’ Samawa.
Dari semua apa yang telah teruraikan diatas, maka patut kiranya kita sebagai bagian dari Tau ke
Tana’ Samawa ingin mengetahui apa sebenarnya yang telah terpasang dan
tertanam didalam Tungkup tersebut sehingga tidak membuat kita menjadi
gamang terhadap tradisi dan kearifan lokal kita sendiri. Tak banyak yang
bisa kita harapkan, tetapi mungkin paling tidak dengan informasi
tentang keberadaan Tungkup tersebut kita mampu menemukan semangat
kebersamaan, etos kita sebagai Tau Samawa serta modal sosial kita karena
bagaimanapun juga Adat Istiadat dan Budaya Samawa merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari kehidupan kita sebagai Tau Samawa yang patut untuk
kita lestarikan, sebagaimana didalam lawas kita Tau Samawa :
…Leng dalam batu ku tembok,
Ngawang ko langit ku tutet
Ya ku bosan ku gantuna…
Inilah
bagian terpenting dari sejarah berdirinya Kerajaan dan Kesultanan Samawa
yang tak pernah terungkap sehingga tak banyak pula yang mengetahui baik
historis, fungsi dan tujuan utama didirikannya. Mudah-mudahan dengan
keluarnya tulisan ini semua pihak dapat membuka mata, membuka hati untuk
sebuah kepedulian yang dalam karena bukankah budaya dan kebudayaan itu
tumbuh dan berkembang dari rasa peduli.
Semogalah… (Kepala_Uyang)