Rabu, 13 Februari 2013

KONFLIK SOSIAL DAN MASALAH KEPERCAYAAN, Catatan atas tragedi kemarahan sosial 221 Sumbawa

Oleh : Sambirang Ahmadi
Konflik kadang berawal dari suatu kekeliruan definisi. Ketika seseorang atau suatu kelompok mendefinisikan dirinya sebagai “AKU” atau “KAMI”, maka pada saat itu egoismenya akan bekerja sebagai hakim dalam memutuskan suatu tindakan. Itulah yang kerap terjadi dalam masyarakat, dimana seseorang atau suatu kelompok suka “main hakim” sendiri ketika ada persoalan yang menyentuh egoismenya. Terutama sekali yang berkaitan dengan egoisme privasi, seperti keyakinan, norma, adat dan budaya. Itulah sebabnya, konflik itu susah dihindari (an inevitable process) karena setiap orang atau kelompok datang dan berkembang dengan egoisme privasinya masing-masing. Dalam benturan sosial muncullah kalimat : “aku/kami paling benar” dan kamu/mereka salah”. Sikap memposisikan diri sendiri sebagai “benar” dan yang lain dalam posisi “salah” inilah yang kerap menjadi biang kerok konflik negatif dalam masyarakat . Dalam ilmu sosial, cara berpikir dan kelakuan seperti ini dikenal dengan istilah etnosentrisme, yaitu sikap suatu etnik yang menganggap serba benar apa yang terkandung dalam etniknya.

Kepercayaan sebagai Modal Sosial Pembangunan
Etnosentrisme bisa jadi merupakan suatu penyakit sosial yang endemik. Dia inhern dalam setiap etnik. Karena sifatnya endemik, dia bisa muncul sebagai suatu wabah ketika terjadi kekosongan kepercayaan (vacuum of trust) dalam masyarakat. Keadaan inilah yang kemudian menumbuh-suburkan prasangka yang tidak sehat intra dan antar kelompok masyarakat. Celakanya, ketika ketidakpercayaan ini menyentuh lembaga-lembaga resmi pemerintahan dan penegak hukum, maka setiap keputusan yang diambil akan ditafsir dengan prasangka yang sinis. Di sinilah pentingnya menjaga kepercayaan sebagai modal sosial pembangunan. Kasus kemarahan sosial berbau etnik yang disebut sebagai “Tragedi 221 Sumbawa” adalah perlambang dari hilangnya kepercayaan dalam masyarakat.
Setidaknya ada tiga fungsi kepercayaan. Pertama, fungsi integratif. Kepercayaan bisa menjadi modal untuk menjaga stabilitas sistem sosial dan menyatukan kehendak bersama, seperti kenyamanan dan ketentraman. Kedua, fungsi mengurangi kompleksitas masalah (reduction of complexity). Banyaknya masalah dalam masyarakat yang tak terselesaikan kadang membuat masyarakat bingung dan panik. Dalam situasi seperti ini kepercayaan sangat dibutuhkan terutama pada lembaga-lembaga resmi pemerintahan. Ketiga, fungsi memperlancar kerjasama (lubricant of cooperation). Kerjasama dalam konteks apapun tidak akan terjadi tanpa kepercayaan. Bahkan kerjasama yang telah terbangun pun akan runtuh dengan sendirinya bila kepercayaan hilang.
To’ Sanyaman Ate : Keyword Interaksi
Tiga fungsi kepercayaan tersebut di atas mengisyaratkan bahwa pembangunan itu bukanlah soal uang semata, tapi jauh lebih penting adalah soal kepercayaan. Ketika kepercayaan terbangun dan terpelihara dengan baik, maka dengan mudah orang akan merubah definisi sosialnya dari bahasa “AKU/KAMI” ke “KITA”. Perhatikanlah isyarat nilai yang ada dalam budaya lokal Samawa berikut : “Kle Tau Barang Kayu/Lamen To’ Sanyaman Ate/Ba Nansi Sanak Parana”. Lawas ini semacam penyataan “selamat datang” dan “selamat bermukim” bagi etnis manapun di tana’ Samawa (Kabupaten Sumbawa). Hakekat dari lawas tersebut adalah “tana’ Samawa” (kabupaten Sumbawa) adalah milik “KITA” bersama, bukan hanya milik “KAMI” (etnis Samawa). Etnis luar/pendatang yang bisa menjaga kenyamanan sosial akan diperlakukan sebagai bagian dari keluarga. Inilah kearifan lokal yang menunjukkan betapa mudahnya kepercayaan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Sumbawa. Kata kuncinya adalah “To’ Sanyaman Ate”. Secara sosial kalimat ini bermakna “pandai bersikap dan menjaga sopan santun”, secara ekonomi “pandai berbagi”, secara politik tidak ingkar janji, dan secara agama tidak mengganggu aqidah.
Harus disadari bahwa setiap etnik memiliki kata kunci interaksi. Keyword inilah yang menjadi sumber kepercayaan dan sebagai perekat utama kebersamaan. Karenanya menjadi suatu keniscayaan dalam suatu interaksi, masing-masing etnik harus saling memahami kata kuncinya. Itulah yang disebut dengan istilah cross cultural understanding. Tragedi 221 Sumbawa, diakui atau tidak, adalah akibat dari ketersinggungan budaya dan hilangnya kepercayaan. Maka trust recovery adalah suatu keniscayaan! Wallahu’alam.
Penulis adalah alumnus program Magister Sosiologi FISIPOL Universitas Indonesia 2003
Ketua komisi IV DPRD Kabupaten Sumbawa
Ketum DPD PKS Sumbawa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar