Sumbawa, PSnews – Penguasaan lahan secara illegal
cukup marak terjadi di Kecamatan Lunyuk. Umumnya dilakukan oleh
oknum-oknum pendatang dari luar Sumbawa, misalnya Lombok dan Bali yang
notabene belum mengantongi kartu tanda penduduk atau keterangan
berdomisili di Kabupaten Sumbawa.
Persoalan tersebut diungkapkan Camat Lunyuk, Lukmanuddin, kepada
pulausumbawanews.com di sela-sela kegiatannya di Sumbawa Besar, Senin
(25/03/2013).
Penguasaan lahan secara liar tersebut, disinyalir terjadi di
perbatasan Desa Jamu. Oleh sebagian masyarakat sedang direbut dan
dikuasai untuk keperluan tertentu, karena adanya sejumlah potensi
mineral pasir putih di sekitar lokasi. Penguasaan lahan secara illegal
juga dilakukan dengan tujuan untuk menguasai seluas-luasnya dan akan
dijual dengan harga tinggi kepada para spekulan. Penguasaan lahan
illegal ini menjadi perhatian serius dari pemerintah setempat.
Pemerintah, tegas Camat, atas perintah Bupati mencoba mengembalikan
fungsi hutan sebagai mana mestinya, karena banyak masyarakat sengaja
membuka lahan. Padahal ijin pembukaan lahan merupakan kewenangan Bupati
yang diatur dengan undang-undang. Tapi pada prakteknya diberikan oleh
oknum Kepala Dusun dan Kepala Desa terkait. Para oknum Kades menganggap
bahwa kewenangan tersebut berada di tingkat Desa lantaran kurangnya
pemahaman terhadap aturan.
“Hak membuka lahan berada di Bupati. Baru bisa ada kekuatan hukum
kalau ada akte jual beli di depan PPAT atau Camat yang diangkat sebagai
PPAT. Proses mendapatkan tanah pun ada tiga dasar, yakni warisan, jual
beli dan hibah. Kalau ada yang mendapatkan tanah di luar tiga dasar itu
makanya dinyatakan illegal,” papar mantan Camat Ropang tersebut.
Maraknya pembukaan lahan secara illegal, sambung Lukmanuddin, karena
keterbasan pemahaman aparatur desa yang menganggap bahwa diterbitkannya
peralihan hak di tingkat desa sudah sah. Padahal hal tersebut belum sah
dan kuat.
Menurutnya, wilayah Lunyuk saat ini sedang dilirik oleh para investor
di berbagai bidang. Mulai dari potensi pariwisata, perkebunan bahkan
pertambangan. Anehnya, kata Camat, masyarakat malah mengklaim sebagai
wilayahnya. Padahal di dalam SK Bupati hanya memberikan ijin pembukaan
lahan maksimal 2 hektar. Ketika masyarakat membuka dan menjual inilah
yang menjadi fokus penertiban oleh pemerintah kecamatan. Kewenangan
menjatuhkan sanksi berada di Pemerintah Kabupaten. Pihak Pemerintah
Kecamatan saat ini masih mengindentifikasi persoalan lahan-lahan yang
telah dikuasai. “Kami masih mengidentifikasi persoalan penguasaan lahan
sementara tersebut. Bahkan sebagian besar sudah ada yang menerbitkan
SPPT nya. Kami duga dalam prosesnya dan mekanismenya tidak benar.
Artinya kantor pajak pratama turun tidak mengukur lahan, tetapi dipaksa
dan diintimidasi oleh aparat desa yang memiliki kepentingan,” ungkap
Camat Lunyuk.
Hal tersebut ditemukan di Desa Emang dan Jamu. Khusus di Jamu telah
terjadi pengklaiman oleh komunitas adat Pekasa yang notabene sebagian
besar dari Lombok dan dimanfaatkan lembaga tertentu.
Dengan penertiban tanah ini, lanjutnya, pemerintah juga tidak ingin
ada kerugian di tengah masyarakat. Pemerintah ini mencari win-win
solution. Karena masyarakat yang sudah cukup lama menggarap membuka
lahan menjadi lahan pertanian.
Kalaupun akan ada investor yang akan menggarap dan dikompensasi, maka
masyarakat jangan melepas dengan harga yang tinggi. Sebab bagaimana pun
tujuan mendatangkan investor untuk mensejahterakan masyarakat. Kalau
bermasalah, maka akan dipending dulu.
“Siapa saja investor yang akan masuk, harus menertibkan lahan dulu,
supaya masyarakat tenang dan investor pun merasa aman. In penting agar
sama-sama mendapatkan keuntungan dari investor,” jelas Camat. (PSb)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar