Minggu, 08 September 2013

Lahan Transmigrasi Brang Lamar Bakal Menuai Masalah

pulau sumbawa 
Sumbawa, PSnews — Lahan transmigrasi Brang Lamar, Desa Emang Lestari, bakal kembali menuai permasalahan. Di lapangan menyeruak bahwa porsi penempatan transmigrans 80 persen lokal dan 20 persen luar Lunyuk, dimaknai sempit oleh masyarakat sekitar. Hal tersebut dikemukakan Camat Lunyuk, Lukamuddin, Selasa (27/08/203).

“Porsi tersebut tidak digarisbawahi. Versi camat, bahwa pemaknaan masyarakat lokal adalah Kabupaten, bukan Kecamatan yang selama ini dipahami masyarakatnya. Karena nilai filosofi transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari daerah yang padat penduduk ke daerah yang jarang penduduknya. Tapi kalau dimaknai lokal hanya untuk Desa Emang, maka terlalu kecil proyek nasional untuk membiayai perpindahan penduduk ke suatu Dusun atau Desa,” tegasnya.

Terkait pengerjaan fisik di lapangan, diharapkan agar bisa berhasil 100 persen sebelum kontrak berakhir. Pasalnya, sejauh ini potensi gagalnya sudah terlihat. Karena menurut keterangan yang ia jelajahi, Disnakertrans meminta tambahan anggaran untuk melanjutkan proyek tersebut di atas Rp 470 juta.

“Tapi faktanya, penawarannya di bawah pagu anggaran yang dimenangkan. Apalagi kalau 25 persen anggarannya dibuang, maka nilai kontraknya di bawah itu. Saya yakin karena anggaran yang tidak cukup, potensi untuk tidak berhasil dengan maksimal itu ada,” keluh Lukmanuddin.
Lukmanuddin
Ia menambahkan, pengerjaan di lapangan tetap berlanjut. Apalagi kondisinya dikejar tenggat waktu harus selesai dalam Oktober 2013. Belum lagi ada gangguan internal, misalnya tenaga kerja yang lama kembali bekerja setelah libur mudik.

Dengan kondisi seperti itu, ia berharap pengerjaannya bisa maksimal. Bagi yang akan menempati, akan diseleksi dengan baik. Sebab sudah banyak kasus yang terjadi peralihan kepemilikan kepada oknum pejabat tertentu yang membeli tanah transmigran. Bahkan ada yang sampai 80 hingga 90 hektar.

“Ini yang kami tertibkan, jangan sampai hajat transmigrasi ini untuk mensejahterakan rakyat, tapi yang sejahtera justeru orang yang berduit atau pejabat-pejabat tertentu. Sekarang sudah banyak yang beralih fungsi kepemilikan. Ada seorang dokter yang menjadi pemilik lahan puluhan hektar,” ungkapnya.

Bahkan, sambung Camat, termasuk lahan yang akan ditempati sudah ada yang menjanjikan pembayaran. Lantaran dimaknai untuk lokal adalah untuk warga Desa Emang, sehingga oknum tertentu menjanjikan untuk memasukkan namanya sebagai transmigran dengan meminta sejumlah uang.

Artinya, tegas Camat, namanya saja milik warga lokal, tapi dalam kepemilikannya adalah milik orang lain dengan masa sekian lama. Menurut Lukmanuddin, persoalan ini pun bisa dibuktikan di lapangan.
Drs. Arief, MSi
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumbawa, Drs. Arif, M.Si., yang dikonfirmasi di tempat berbeda, menjelaskan, pembangunan lahan transmigrasi Brang Lamar, Desa Emang Lestari, Kecamatan Lunyuk, merupakan pembangunan berkelanjutan, fungsionalisasi dan pembangunan unit baru dari tahun 2012. Di tahun 2012, ada 100 unit rumah yang ditargetkan hanya dibangun dengan beberapa variasi prosentasenya hanya 48 unit. Sedangkan 52 unitnya kosong dan inilah yang dikerjakan tahun 2013 ini.

Sejauh ini, terang Arif, di lapangan memang terjadi deviasi dari target capaian yang dibuat, sehingga kisarannya baru 40 persen. Disnakertrans terus mendorong, memantau dan mengevaluasi dengan gerakan aktifitas supaya deviasi atau kekurangan tersebut benar-benar bisa dilampaui. Hal ini penting agar target penyelesaian sesuai kontrak pada 16 Oktober 2013. Sisa waktu yang ada saat ini untuk melakukan penetapan, mulai dari menyeleksi hingga menetapkan warga transmigrasi 100 KK. Penempatannya dilakukan pada Nopember 2013.

Kendala di lapangan, sambungnya, menurut keterangan pemborong dan tenaga teknis, baik pengawas maupun yang memantau bahwa telah terjadi kelangkaan bahan. Dalam hal ini kayu, batu bata dan sebagainya. Dalam hal mengatasi kendala seperti itu, telah dilakukan rapat di ruang Asisten II dengan menghadirkan para pihak, antara lain, Direktur PT. Anugrah Mandala Mataram, berssama para tenaga teknis lapangan, ULP dan Disnakertrans, guna membicarkaan pemecahan kendala di lapangan disertai dengan mengingatkan kepada kontrakor.

“Apabila sampai dengan batas tertentu pengerjaan proyek ini tidak bisa diselesaikan karena sudah menghawatirkan, maka akan mengambil langkah memutuskan kontrak. Putus kontrak berarti gagal, mirip dengan tahun lalu,” tegas Arief.

Menurut Arief, masyarakat memaklumi bahwa mekanisme tender proyek ini tidak ditentukan oleh Disnakertrans melainkan melalui ULP. Pihaknya hanya menerima anggaran sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA). Seluruh dokumen anggaran diserahkan ke ULP untuk dilelang, sehingga memenangkan PT. Anugrah Mandala Matam.

Ia menegaskan, bukan berarti dalam masalah ini tidak mau bertanggungjawab, tapi bukan pihaknya yang melakukan tender. Termasuk penetapan pemenang tender, bukan urusan pihaknya. “Sejauh ini belum ada laporan masalah, karena rekapitulasi masalah sudah kami sampaikan di rapat,” tambah Arif.

Lebih jauh ia memaparkan, sebanyak 52 rumah yang dibangun mulai dari nol tersisa 12 unit. Itupun 40 unit yang sudah ada beberapa bagian belum selesai. 48 unit rumah yang difungsionalisasi adalah sisa yang dibangun tahun 2012 tersisa 34 unit atau 14 sudah selesai. Kalau diukur dengan kalender saat ini, maka kekurangannya 40 persen. Mestinya sudah 80 persen, sehingga kontraktor harus mengejar 60 persen sampai batas kontrak.

Persoalan di lapangan, meliputi kekurangan tukang dan kurangnya kayu sebagai bahan yang paling banyak digunakan. Masalahnya, kontraktor berharap pada kayu hasil tebangan IPKTM yang sampai saat ini ijinnya belum juga keluar. Pihaknya sudah memberikan saran agar kontraktor bisa menggunakan kayu dari mana saja asalkan legal, tidak perlu bergantung dengan IPKTM. Kemudian batu bata agar jangan memaksakan diri pada satu tungku. Begitu juga dengan tukang untuk mencari tukang lain.

Sehingga pihaknya meminta kepada kontraktor dapat bekerja sesuai prosedur. Tidak boleh lagi ada alasan. Petakan masalahnya untuk mencari solusi.

Mengenai praktek perpindahan kepemilikan melalui jual beli di bawah tangan lahan transmigrasi, Arif menegaskan, berdasarkan ketentuan perundang-undangan, bahwa warga yang dimukimkan sebagai transmigrans adalah pertimbangan dari berbagai aspek dan di-SK kan oleh pejabat yang berwenang. Sehingga sebelum orang itu diputuskan menempati, maka belum ada yang pasti. Kepastiannya akan ada setelah terbit SK dan sampai saat ini belum ada SK.

“Kami heran, masyarakat mana yang menganggap dirinya sudah mengantongi SK atau pasti sebagai warga trans. Sementaranya SKnya saja belum keluar. Tim seleksi belum menuntaskan pekerjaannya,” ujar Arif.
Mengenai spekulasi tersebut, menurutnya itu tidak sah. Karena objek yang diperjualbelikan belum ada. Apalagi fasilitas tersebut bukan untuk diperjualbelikan atau disewa-menyewakan. Itu semua diberikan untuk dihuni dan syaratnya diatur oleh ketentuan, tidak sembarang orang mendapatkannya.

Ia menegaskan, jika terbukti terjadi praktek jual beli lahan atau fasilitas transmigrasi, maka bisa dikenakan sanksi pidana sebagai bentuk kejahatan karena bukan hak milik. Adapun daftar penerima atau penghuni baru sebatas konsep, belum diverifikasi, diteliti dan di SK kan.

Mengenai pemahaman porsi 80 persen untuk warga lokal dan 20 persen warga non lokal yang dianggap hanya untuk warga Emang Lestari, Kadisnakertrans menjawab, bahwa hajat transmigrasi adalah untuk memindahkan penduduk dari permukiman yang padat ke permukiman yang longgar. Dari suatu Propinsi ke Propinsi lain. Dari satu Kabupaten/Kota ke Kabupaten/Kota lain, bahkan di dalam Propinsi yang sama.

“Tidak ada denifisi memindahkan dari dusun ke dusun dari Desa yang sama. Kecuali hal-hal yang menyangkut kebijakan. Sehingga orang tidak boleh berpegang teguh kepada anggapan dan asumsi, tanpa kembali kepada hukum atau undang-undang sebagai definisi,” terangnya.

Mengenai harus orang Desa Emang Lestari menjadi penghuni lahan trans, menurutnya, hal itu adalah sebuah keinginan. Tidak otomatis keinginan itu dipenuhi. Kalau bertentangan dengan undang-undang, maka keinginan itu tidak boleh dilaksanakan. Kalau itu diberikan kelonggaran atau kebijakan, maka boleh dilakukan.

“Demikian pula soal 80 persen tersebut juga perlu dipahami. Bila 80 persen adalah keseluruhan warga desa Emang Lestari pindah ke Brang Lamar dengan anggapan bahwa itu trangmigrans lokal, maka suatu saat nanti jika ada program transmigrasi di Sumbawa diberikan jatah lokal berapa persen pun itu untuk masyarakat di suatu Desa, maka sampai kapanpun warga Kota tidak akan bisa menikmati program transmigrasi tersebut,” tandasnya. (PSb)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar