Minggu, 31 Maret 2013

Geliat Istana Dalam Loka di Sangkar Emas

 
MENDUNG menyelimuti kota Sumbawa Besar, Kamis 18 Februari  2012. Seberkas sinar matahari menyelinap tepat menerangi atap bangunan Istana Dalam Loka.  Meski cahayanya kecil, namun cukup kuat menggambarkan betapa kokoh bangunan bersejarah peninggalan Kesultanan Sumbawa itu. Saya berdiri di tepi pagar sebelah timur istana sambil memandang beberapa sudut bangunan, seraya berharap cahaya kecil itu merupakan geliat Istana Dalam Loka yang terbangun dari tidur panjangnya. Harapan itu muncul seiring dengan rencana Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumbawa dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Barat (NTB) melakukan revitalisasi Istana Dalam Loka. Istana tua itu akan dijadikan pusat study budaya Sumbawa dan sekaligus menjadi destinasi atau tujuan wisata unggulan. 
Beberapa saat kemudian seorang pria setengah baya menghampiri. Sambil tersenyum, lelaki itu menyampaikan penyesalannya atas kondisi peninggalan sejarah seperti ini yang tidak dirawat dengan baik oleh pemerintah. Padahal Sumbawa bisa dikatakan sebagai sangkar emas, tapi keadaan istananya begitu kumuh. “Kenapa tidak minta bantuan CSR newmont saja ? Mestinya Pemda segera melakukan komunikasi dengan pemilik rumah-rumah yang ada di halaman istana. Katanya akan disatukan kembali dengan masjid Nurulhuda, tapi kenyataannya sampai sekarang belum juga direalisasi. Bahkan rumput-rumput di taman istana sudah mulai tinggi dan tak terawat,” keluh pria itu sambil menggelengkan kepala.
Terinspirasi dengan pernyataan pria setengah baya itu, lalu saya menuju Kantor Dinas Pemuda Olah Raga Budaya Pariwisata (Disporabudpar) Kabupaten Sumbawa untuk menggali informasi tentang rencana pemerintah merevitalisasi Istana Dalam Loka.
Kepala Bidang Kebudayaan Disporabudpar Kabupaten Sumbawa, Hasanuddin H. Djahuri, SPd yang ditemui di ruang kerjanya mengakui, Pemkab Sumbawa dan Pemprov NTB memang berencana melakukan revitalisasi Istana Dalam Loka. Bahkan Pemprov NTB telah mengalokasikan dana bantuan melalui APBD tahun 2012 sebesar Rp. 5 miliyar. Dana itu akan digunakan  untuk membangun pagar keliling masjid, sarana pendukung, gedung pusat kajian Islam dan melengkapi isi istana sesuai masa lalu, seperti tempat tidur, singgasana sultan dan sebagainya agar pengunjung dapat menelusuri jejak masa lalu.
Hasanuddin H. Djahuri, SPd yang juga dikenal sebagai pengurus Lembaga Adat Tau Samawa (LATS) ini sangat bersemangat ketika diajak berbincang-bincang lebih dalam tentang Istana Dalam Loka.
Dipaparkan, Istana Dalam Loka didirikan pada tahun 1885 Masehi. Istana yang berada di jantung kota Sumbawa Besar ini tercatat sebagai rumah panggung terbesar di dunia. Rumah panggung raksasa ini memiliki luas bangunan 904 meter persegi. Itu belum termasuk bangunan Bala Bulo, Bale Pamaning dan Jambang Sasir. Cagar budaya ini merupakan saksi sejarah yang menggambarkan betapa agungnya semangat religius Kesultanan Sumbawa pada zaman kolonial Belanda. Istana kokoh yang dibangun dari bahan kayu ini meninggalkan pesan filosofis “adat barenti ko syara’, syara’ barenti ko kitabullah’ yang artinya semua aturan adat istiadat maupun nilai-nilai dalam sendi kehidupan Tau Samawa (warga Sumbawa) harus bersemangatkan pada Syariat Islam. Salah satu perwujudannya yakni dengan menyatunya bangunan Istana Dalam Loka dengan Masjid Nurulhuda.
Istana Dalam Loka dibangun pada era Sultan Muhammad Jalaluddin Syah III (1883-1931) yang merupakan Sultan ke-16 dari dinasti Dewa Dalam Bawa. Sultan Muhammad Jalaluddin Syah III dikukuhkan sebagai penguasa Sumbawa berdasarkan Akte Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tanggal 18 Oktober 1883. Mulai saat itulah penjajahan Belanda berlangsung di wilayah kerajaan Sumbawa. Luas wilayah Kesultanan Sumbawa berdasarkan Lange Politick Contract 1938 adalah 844 kilometer persegi yang secara geografis merupakan sebagian dari Pulau Sumbawa yang terletak pada posisi 1160 35’BB – 1180 15’ BT dan 80 5’ BU-90 5’-LS.
Sebelum istana ini dibangun, Kesultanan Sumbawa telah beberapa kali berganti istana, antara lain pernah dikenal Istana Gunung Setia, Istana Bala Balong dan Istana Bala Sawo. Bala Rea (Graha Besar) yang terletak di dalam komplek istana Dalam Loka berbentuk rumah panggung kembar disanggah dengan 99 tiang jati yang melambangkan 99 sifat Allah (Asma’ul Husna). Istana ini selain untuk menempatkan raja pada posisi yang agung, juga sebagai pengganti Istana Bala Sawo yang hangus terbakar letusan bubuk mesiu logistik kerajaan.
Bahan baku pembangunan Istana Dalam Loka ini sebagian besar didatangkan dari pelosok-pelosok desa di sekitar istana. Khusus untuk kayu jati ukuran besar didatangkan dari hutan Jati Timung. Sedangkan atapnya yang terbuat dari seng didatangkan dari Singapura.
Bala Rea ini memiliki banyak ruangan dengan fungsinya masing-masing, antara lain :
- Lunyuk Agung, terletak di bagian depan, merupakan tempat dilangsungkannya musyawarah, resepsi dan serangkaian kegiatan penting lainnya.
- Lunyuk Mas adalah ruangan khusus bagi permaisuri, para isteri menteri dan staf penting kerajaan ketika dilangsungkan upacara adat. Letaknya bersebelahan dengan Lunyuk Agung.
- Ruang Dalam sebelah barat, terdiri dari kamar-kamar yang memanjang dari arah selatan ke utara sebagai kamar peraduan raja (repan) yang hanya disekat kelambu dengan ruangan sholat. Di sebelah utara Ruang Dalam merupakan kamar tidur permaisuri bersama dayang-dayang.
- Ruang Dalam sebelah timur, terdiri atas empat kamar, diperuntukkan bagi putra/putri raja yang telah berumah tangga. Di ujung utaranya adalah letak kamar pengasuh rumah tangga.
- Ruang Sidang, terletak pada bagian utara ( bagian belakang ) Bala Rea. Pada malam hari ruangan ini digunakan sebagai tempat tidur para dayang.
- Dapur terletak berdampingan dengan ruang perhidangan.
- Pamaning (kamar mandi), terletak di luar ruang induk, yang memanjang dari kamar peraduan raja hingga kamar permaisuri.
- Bala Bule, letaknya persis di depan ruang tamu permaisuri ( Lunyuk Mas ), berbentuk rumah dua susun. Lantai pertama yang sejajar dengan Bala Rea sebagai tempat putra/putri raja bermain. Sedangkan lantai dua untuk tempat permaisuri beserta istri para bangsawan menyaksikan pertunjukan yang dilangsungkan di lapangan istana.
Di luar bangunan Bala Rea yang kini dikenal sebagai Dalam Loka, sebagai kesatuan dari keseluruhan komplek Istana ( Dalam ), pada zaman dahulu masih terdapat beberapa bagian penting istana, seperti Keban Alas (kebun istana), Bala Buko (gapura) tembok istana, Bale Jam (rumah jam), tempat khusus diletakannya lonceng kerajaan.
Sejak dibangunnya istana baru pada tahun 1932 istana kerajaan yang sejak tahun 1954 difungsikan sebagai rumah dinas atau Wisma Praja Bupati Sumbawa. Kondisi Bala Rea sebagai bangunan utama dari komplek Istana Dalam Loka dianggap sudah tidak layak ditempati dan mulai ditinggalkan keturunan kerajaan.
Bangunan Istana Dalam Loka ini sangat kaya dengan filosofis Tau Samawa yang memiliki nilai-nilai religius yang sangat tinggi. Kalau Kerajaan di Jogjakarta dan Sumatera letak istana berhadapan dengan masjid, tetapi di Sumbawa berbeda. Istana Dalam Loka mengarah ke Selatan.
Mengapa ke Selatan? Ada beberapa pandangan tentang Istana mengarah ke Selatan ini. Berdasarkan hukum arah mata angin, Selatan merupakan arah mata angin yang diyakini dapat memberikan suasana senap semu nyaman nyawe (sejuk, damai, nyaman dan tenteram) bagi penghuni bangunan istana. Termasuk di dalamnya pemerintah kala itu juga memiliki karakter yang bijak dan tanggap terhadap keinginan rakyat yang berpegang pada filosofis menempatkan rakyat di atas pangkuan pemimpin (satokal rakyat pang bao riwa).
Pandangan kedua, tidak semua penghuni istana sempat beribadah ke masjid  kendati dalam satu halaman. Itu sebabnya dibuat ‘repan shalat’  atau mushalla. Ketika aktifitas berlangsung pada waktu jam ibadah, maka arah selatan ini telah memberikan nilai toleransi bagi penghuni istana yang tidak sempat mendirikan sholat berjamaah di masjid. Itu sebabnya ada lawang sowai  (pintu perempuan) di sebelah timur istana.
Pandangan ketiga, makna istana menghadap  ke Selatan yakni menatap pada masa lalu. Artinya sang pemimpin harus memiliki kearifan dalam menyikapi masa lalu yang bisa dibawa ke masa kini. Bentuk bangunan dengan tiga atap yang tidak berdiri di tengah istana. Model atap seperti itu diambil dari hakekat attahiyat pada posisi sholat. Sholat adalah tiang agama. Bangunan ini juga mengingatkan kepada kita untuk melaksanakan sholat 5 waktu sebanyak 17 raka’at sehari semalam. Bangunan istana ini tidak menggunakan paku besi, melainkan menggunakan pen atau pasak dari kayu.
Kelebihan lainnya istana ini dibangun dua lantai tetapi tidak menyatu. Tiang lantai satu bersambung dengan tiang lantai satu. Dan sambungannya menggunakan sistem baji yang sangat lentur bila terjadi gempa bumi.
Hasanuddin yang akrab dipanggil Kak Ace ini menambahkan, Istana Dalam Loka merupakan salah satu destinasi wisata unggulan di wilayah Provinsi NTB. Bentuknya yang unik telah mengundang perhatian wisatawan berbagai negara. Meski kondisinya belum dikembalikan seperti sedia kala, tetapi sudah banyak wisatawan yang datang berkunjung ke Istana Dalam Loka.
Namun persoalan yang dihadapi dalam upaya melakukan revitalisasi, yakni di area istana sudah berdiri beberapa bangunan rumah non cagar budaya yang dihuni oleh kerabat Sultan Sumbawa. Di samping itu, tanah kosong yang ada di halaman istana sudah ada pemiliknya. Kak Ace mengungkapkan,  hal tersebut diketahui melalui surat kerabat Kesultanan kepada Pemkab Sumbawa beberapa waktu lalu. Meski belum disertifikat, tetapi tanah kosong itu sudah dimiliki berdasarkan pembagian secara lisan.
“Sementara anggaran yang disediakan Pemprov NTB sebesar Rp. 5 milyar tidak termasuk dalam pembebasan lahan bagi bangunan non cagar budaya yang ada di sekitar Istana Dalam Loka,” terangnya.
Kak Ace mengakui, rencana revitalisasi istana Dalam Loka sudah tentu tidak dapat serta-merta dilaksanakan sebelum tuntasnya masalah pembebasan lahan di area istana.
Menurutnya, Pemkab Sumbawa tidak boleh sekedar berbicara tentang pembebasan lahan tetapi juga harus menjalin komunikasi secara menyeluruh kepada kerabat Sultan. Hal tersebut penting untuk mengetahui sejauhmana keinginan kerabat Sultan terkait persoalan ini. “Kalau dibebaskan rumahnya, lalu bagaimana dengan status Istana Dalam Lokanya itu sendiri? Inilah yang harus dipertegas,” ujarnya.
Istana Dalam Loka bukanlah aset Pemerintah Kabupaten, Provinsi maupun Pusat, melainkan sudah masuk dalam registrasi secara nasional di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Registrasi yang dilaksanakan pada tahun 1980 itu diserahkan oleh ahli waris Kesultanan Sumbawa untuk direhab oleh pemerintah. Terkait persoalan ini dalam waktu dekat Bupati Sumbawa, Drs.H. Jamaluddin Malik bersama tokoh-tokoh LATS akan mengadakan pertemuan dengan ahli waris.
“Kami dari Disporabudpar sudah melaporkan kepada bupati tentang nama-nama kerabat sultan yang harus dihadirkan dalam pertemuan nanti,” tandasnya.
Untuk mencairkan rasa penasaran ini, saya berupaya mendatangi rumah salah seorang anak Sultan Jalaluddin, Almarhum LM Resyad Dea Bawa yang berada di sebelah barat daya halaman Istana Dalam Loka. Rumah itu tampak sepi dan pagar halamannya dalam kondisi terkunci. Lalu saya hubungi menantunya yang bernama, Syamsu Ardiyansyah atau lebih akrab dipanggil guru besar. Ditanya soal rencana revitalisasi Istana Dalam Loka, Syamsu Ardiansyah menolak berkomentar lantaran tidak merasa berkompeten berbicara soal itu. “Kalau masalah itu sebaiknya ditanya langsung ke Daeng Wa’. Beliau itulah yang dituakan oleh para kerabat sultan terkait masalah ini,” katanya singkat.
Sesuai saran Syamsu Ardiansyah lalu saya menuju Bala Rea tempat tinggalnya Daeng Marwa’ atau yang biasa dipanggil Daeng Wa’.
Lelaki yang usianya 60 tahun ini merupakan putra sulung atau anak keempat dari Perdana Menteri Kesultanan Sumbawa, Datu Ranga.
Daeng Wa’ tinggal menetap di Bala Rea Kelurahan Pekat Sumbawa Besar. Secara kebetulan, ketika saya tiba di bangunan peninggalan sejarah itu, bersamaan dengan tibanya Daeng Wa’ yang mengaku baru pulang dari sawah.
Ketika saya sampaikan niat untuk melakukan wawancara seputar rencana revitalisasi, Daeng Wa’ langsung memanggil adik kandungnya Daeng Muhammad Natsir  (55 tahun) yang juga secara kebetulan sedang mengobrol di rumah tetangganya yang berjarak sekitar 5 meter dari pintu samping Bala Rea. Sebuah kebetulan yang sangat menguntungkan. Lalu saya dipersilahkan masuk ke dalam Bala Rea. Saat hendak menaiki tangga, sandal pun saya tinggal di anak tangga paling bawah. Daeng Muhammad Natsir atau yang akrab dipanggil Daeng Ace, langsung membawa sandal saya ke tangga bagian atas. Kesan feodal pun sirna dari benak saya menyaksikan betapa merendahnya kepribadian seorang bangsawan ‘ring satu’ sultan ini. Dengan cepat saya bergegas turun dari atas tangga guna mengongsong sandal jelek milik saya dari tangan Daeng Ace. Di dalam ruang tamu Bala Rea, Daeng Wa’ dan Daeng Ace mengutarakan beberapa hal tentang Istana Dalam Loka yang sangat kaya dengan filsafat Islam.
Ketika ditanya seputar rencana pemerintah melakukan revitalisasi Istana Dalam Loka, Daeng Wa’ mengaku pada prinsipnya sangat mendukung.
“Kami setuju-setuju saja. Namun yang kami sesalkan kenapa tidak dikomunikasikan terlebih dahulu dengan ahli waris. Tiba-tiba Pemprov NTB menetapkan anggaran sebesar Rp. 5 milyar untuk revitalisasi,” ungkapnya dengan nada datar.
Terkait rencana revitalisasi Istana Dalam Loka itu, ia mengaku tidak pernah dilibatkan. Memang, kata Daeng Wa’ ada nuansa Bupati Sumbawa akan mengutus tim untuk memusyawarahkan revitalisasi Istana Dalam Loka dengan para ahli waris. Dia mengaku tidak setuju dengan cara itu. Seharusnya, sambung Daeng Wa’, pihaknya dipanggil oleh Bupati, Wakil Bupati atau Sekda Sumbawa untuk diajak bermusyawarah terkait rencana revitalisasi Istana Dalam Loka.
“Alangkah baiknya bila kami dipanggil oleh Bupati, Wakil Bupati atau Sekda Sumbawa untuk membicarakannya. Itu lebih baik daripada mengutus tim yang tidak bisa mengambil kebijakan, Biar kami yang datang atas undangan para pejabat itu. Toh Sekda Sumbawa, Mahmud Abdullah saat masih kecil juga sering bermain di Bala Rea,” tegasnya. Dan akan jauh lebih baik lagi bila Sultan mengundang rembuk para kerabat secara internal.
Lebih jauh Daeng Wa’ memaparkan, ada enam poin penting dalam falsafah hidup Tau Samawa yaitu, niat, jujur, to’ diri (tahu diri), manang tengah (obyektif / berdiri di tengah),  terapkan hukum sesuai aturan dan musyawarah mufakat. “Inilah penising tau loka-loka sepuan atau petuah orang-orang tua kita dulu yang harus dikuti,” tuturnya.
Sementara itu, Sultan Muhammad Kaharuddin IV gagal dihubungi karena sedang berada di Jakarta.
Akankah revitalisasi Istana Dalam Loka dapat terealisasi? Sudah tentu berpulang pada berhasil atau tidaknya komunkasi antar pihak. (oleh : Wahyudi Dirgantara).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar